Bentuk bangunan rumah Minangkabau itu khas karena bentuk atapnya berpuncak runcing. Bentuk atap demikian disebut gonjong. Ada rumah yang bergonjong dua, ada empat, ada enam atau lebih. Jumlah gonjong ditentukan oleh besar atau panjang rumah tersebut. Pada bagian tangganya di depan ada kalanya diberi gonjong pula. Banyak nama julukan diberikan kepada rumah tersebut : rumah adat, rumah gadang, rumah bagonjong, rumah beranjung dan sebagainya.
Dinamakan rumah adat karena di sanalah upacara adat dilakukan. Misalnya, penobatan penghulu kaum atau kepala adat yang bergelar Datuk, tempat musyawarah kaum untuk membicarakan hal-hal yang penting, menyemayamkan jenazah kepala adat. Dinamakan rumah gadang karena ukurannya memang lebih besar dari rumah biasa. Dinamakan rumah bagonjong karena atapnya bergonjong-gonjong. Dinamakan rumah baanjuang, karena pada kedua ujung rumah menempel bangunan seperti anjungan pada kapal layar. Untuk selanjutnya, baik namakan rumah adat saja.
Kalau diperhatikan dengan cermat, badan rumah itu tidak biasa. Badan rumah itu mengembang ke atas. Disangga oleh tiang hingga kolongnya setinggi orang.
Tiang itu ditegakkan pada batu sendi agar tidak lapuk dimakan tanah. Ukuran badan rumah lebih tinggi dari kolong. Bangun atapnya pun lebih besar dari badan rumah sehingga kelihatannya setiap bagian rumah itu lebih tinggi dan lebih besar ukuran dari yang di bawahnya.
Pada bagian depan seluruh dinding dipenuhi oleh ukiran bermotif akar, bunga, daun serta bidang bersegi empat dan genjang. Bagian luar dinding belakang dilapisi dengan belahan bambu agar tidak mudah lapuk. Lazimnya rumah adat itu dibangun nberjajaran pada halaman yang tidak berpagar pembatas. Letaknya disesuaikan menurut arah angin, agar bidang bangunan yang lebar tidak menghadang tiupan angin.
Seperti diakui oleh ahli ilmu bangunan yang disebut aritek itu, ahli bangunan nenek moyang Minangkabau sudah memikirkan segalanya waktu merancang bentuk rumah adat itu. Berhubung alam Minangkabau rawan gempa, bangun rumah dibesarkan ke atas agar tidak mudah rebah oleh goncangan. Supaya penghuni tidak kegerahan oleh hawa panas khatulistiwa, rumah dibangun di atas tiang yang tinggi. Dengan demikian, angin dapat masuk dari bawah lantai. Rumah dibangun sejajar dengan arah angin agar tidak sampai rebah oleh tiupan badai. Supaya atap ijuk jangan menyerap air pada musim hujan, ijuk dipasang berlapis-lapis dan curam. Maksudnya agartidak mudah bocor dan air cepat mengalir. Karena ijuk tidak dapat dipatah, maka ujung atap dibuat runcing, sama seperti membuat sapu.
Ada tiga macam bentuk rumah adat itu. Rumah adat di Kabupaten Tanah Datar kedua sisinya terdapat anjung. Maka orang menamakannya Rumah Baanjuang. Rumah adat di Kabupaten 50 Kota tidak beranjung. Orang menamakannya Gajah Mengeram. Rumah adatdi Kabupaten Agam pada kedua sisinya diberi beratap. Orang menamakannya Raja Berbanding.
Atap rumah adat yang bergonjong runcing itu menyerupai tanduk kerbau. Menurut penduduk, bentuk itu merupakan lambang peringatan atas kemenangan aduan kerbau mereka melawan kerbau kerajaan Jawa. Sesuai pula dengan nama Minangkabau yang jadi nama kampung halaman mereka. Namun, menurut tambo, bentuk rumah adat itu berasal dari bentuk kapal layar nenek moyang mereka yang datang dari Benua Asia. Setelah kapal itu dinaikkan ke darat, kapal itu disangga dengan tiang agar badannya tidak lekas lapuk. Pada ujung ke ujung tiang layar kapal itu direntangkan tali. Padatali itu digantungkan layar pengganti atap. Karena beratnya atap yang tergantung, tali itu melengkung ke tengah. Maka selanjutnya turunan dari orang-orang di kapal itu membangun rumah mereka seperti bentuk kapal. Maksudnya untuk membedakan diri mereka dari penduduk pribumi tanah Minangkabau itu.
Di halaman rumah adat terdapat lumbung padiatau rangkiang. Bentuk bangunannya selaras dengan rumah adat. Ada tiga macam rangkiang yang masing-masingnya berbeda gunanya. Rangkiang besar dengan enam tiang penyangga disebut Si Bayau-bayau, yaitu lumbung untuk menyimpan padi yang akan dimakan sehari-hari. Rangkiang Si Tanggung Lapr untuk menyimpan padi waktu paceklik atau musim kelaparan. Rangkiang Si Tinjau Laut untuk menyimpan padi yang akan ditukar dengan barang-barang perdagangan
Selain laki-laki yang jadi suami dari perempuan ahli rumah, tidak adalaki-laki yangboleh tinggal di rumah adat. Anak-anak yang sudah balig, kira-kira berumur delapan tahun sudah mesti tinggal di surau. Suaru semacam asrama, yang bukan hanya untuk tidur, tapi juga untuk belajar adat, agama dan silat. Setiap kaum mempunyai surau sendiri. Setelah anak laki-laki dewasa dan menikah dia akan tinggal di rumah istrinya.
Sampai sekarang, tidak semua orang boleh mendirikan rumah adat. Yang boleh mendirikan ialah mereka yang menjadi penduduk asal, yang kepala sukunya bergelar Datuk.
Di samping rumah adat, terdapat pula bangunan serupa yang dinamakan balairung. Balairung ialah tempat para penghulu kepala adat mengadakan rapat. Ada dua ragam Balairung yaitu Balairung Koto Piliang dan Balairung Bodi Caniago. Pada kedua ujung bangunan Balairung Koto Piliang terdapat anjungan. Lantainya lebih tinggi. Di anjunagn yang berlantai tinggi itulah duduk kepala adat yang tertinggi derajatnya. Sementara itu, Balairung Bodi Caniago tidak beranjung. Lantainya sama rata. Tidak berdinding sehingga rakyat dapat ikut mendengar musyawarah kepala adat mereka.
Biasanya Balairung didirikan dilapangan yang luas. Tidak jauh dari aliran air. Di tepian aliran air itu didirikan mesjid. Di lapangan itu ditanam beberapa pohon beringin untuk orang berteduh dari terik matahari. Lapangan itu sendiri berguna untuk gelanggang permainan rakyat. Juga tempat untuk jual beli yang kini disebut pasar. Pasar itu biasanya diadakan sekali sepekan. Maka kalau orang-orang pergi ke pasar, sering juga disebut "pergi ke pekan" atau "ke balai".
Di sekitar pasar itu berada, biasa pula kemudiannya menjadi permukiman ramai sehingga menjadi desa atau negeri baru. Desa baru itu dinamakan menurut nama hari pasar itu berlangsung. Misalnya Pekan Senayan, Pekan Rabaa, Pekan Kemis, atau Balai Selasa, Balai Kemis, Balai Tengah dan sebagainya. Ketika istilah pasar, yang berasal dari kata bazaar, dikenal orang, maka ada desa yang bernama Pasar Baru, Pasar Usang dan sebagainya.
Sumber: Buku Cerita dari Sumatera Barat 3
Penulis : A. A Navis
Ilustrasi : Gerdi WK
Desain Sampul: Antonius Kuntra Raharjo
Penerbit: PT. Grasindo Tahun 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar