Senin, 14 Maret 2016

Kisah perjuangan Noyo Gimbal

Dahulu, sumpah merupakan kata sakral yang tak mudah untuk diucapkan. Bahkan pada zamannya, jika ada seorang nayaka praja bersumpah tetapi ia tak mampu membuktikan, maka, nyawa adalah taruhannya.
Berbeda dengan sekarang, terkadang ada pejabat yang dengan sangat enteng mengeluarkan sumpah hanya untuk membela diri ataupun menutupi aibnya. Padahal akan lebih tepat jika sumpah hanya digunakan untuk menyemangati diri dalam mencapai tujuan yang mulia.
Walau waktu terus berlalu, tetapi, Sumpah Hamukti Palapa yang dikumandangkan oleh Mahapatih Gajah Mada, tetap dikenang sepanjang masa Dari sekian banyak sumpah yang pernah dikumandangkan di bumi pertiwi, salah satunya adalah sumpah Naya Sentika, pemimpin perang Bangsri-Blora yang terkenal dengan kesaktiannya. Ia bersumpah takkan memotong rambutnya hingga terurai panjang sebelum kompeni enyah dari bumi Blora. Agaknya, inilah yang menyebabkan kenapa ia lebih dikenal dengan sebutan Noyo Gimbal.
Prof Dr. Suripan Sadi Hutomo, budayawan terkemuka asli kelahiran Blora mendapati naskah ketik dari salah seorang penduduk tentang “Pambuka Purwaning Carita Rakyat Noyo Sentiko Gelar Noyo Gimbal”, yang diartikan sebagai : “Pakem (buku pegangan, catatan) berisi cerita tentang Dukuh Sumber Wangi yang kala itu kedatangan tiga orang yang masing-masing bernama Naya Sentika, Dyah Ayu Sumantri (isteri Naya Sentika) dan Sura Sentika. Ketiganya adalah murid Pangeran Diponegoro. Ini merupakan cerita tutur tentang perjuangan Naya Sentika ketika mengusir penjajah Belanda yang dikenal dengan Perang Bangsri dan Blora yang telah lama dilupakan orang.
Pembuka kisah, Naya Sentika dan keluarganya yang bermukim di Dukuh Sumber Wangi meyakini bahwa dirinya selalu ada dalam kekuasaan Tuhan. Ia sangat bahagia karena mukim di tengah-tengah warga yang amat mencintainya. Namun begitu, masih melekat kuat dalam ingatannya ketika ia masih berjuang bersama-sama dengan Pangeran Diponegoro hingga pada 10 Desember 1831, ia beserta istri dan anaknya terpaksa berpisah dengan junjungannya dan mengungsi ka Dukuh Sumber Wangi sampai rentang 1855.
Selama mukim di Dukuh Sumber Wangi, Naya Sentika dan isterinya yang cantik, Dyah Ayu Sumarti sempat menimba ilmu kesalehan pada Ki Samboro, seorang pertapa di Padepokan Gua Nglengkir. Di padepokan ini ia mempunyai adik seperguruan yang bemama Bejo. Bahkan, ia mendapat restu dari gurunya saat mengutarakan maksudnya ingin melanjutkan perjuangan Pangeran Diponegoro untuk mengenyahkan Belanda dari tanah Jawa.
Oleh Ki Samboro, Naya Sentika disarankan untuk bertapa di Gunung Genuk di daerah Taunan. Menurut waskita sang pertapa, ia bisa memulai pemberontakan berdasarkan sasmita
(pertanda-Jw) dari Gana (tempat air dan tanah) yang terdapat di Gunung Genuk. Jika Genuk itu rebah dan mulutnya menghadap ke arah barat, maka ia harus memulai pemberontakan dari arah barat, sementara, jika mulut genuk itu menghadap ke arah selatan, maka ia harus memulai peperangan dari arah selatan.
Tapi sayang, Bejo, adik seperguruan Naya Sentika merasa iri karena kurang mendapat perhatian dari Ki Samboro. Di samping itu, diam-diam, ia juga tertarik dengan Dyah Ayu Sumarti, isteri Naya Sentika. Rasa iri, dendam dan dengki yang membalut hatinya, membuat Bejo jadi gelap mata. Saat Naya Sentika sedang semedi, Bejo pun datang dengan diam-diam dan merebahkan Genuk lalu bersembunyi di kaki Gunung Genuk.
Paginya, Naya Sentika mendapati Genuknya rebah dan mulutnya menghadap ke arah barat. Seketika, ia menghunus pusakanya yang bernama Kyai Sadak dan berniat maju ke medan perang. Perbuatan ini langsung diikuti sorak-sorai dari para prajuritnya yang setia,pada akhirnya, kini tempat tersebut dikenal dengan sebutan Gunung Surak.
Ki Samboro yang waskita tahu bahwa rebahnya Genuk tersebut adalah karena ulah Bejo. Ki Samboro mengingatkan Naya Sentika agar mengurungkan niatnya. Tetapi Naya Sentika berpendapat lain, Bejo yang akhirnya tertangkap dan mengakui segala perbuatannya adalah hanya merupakan lantaran dari rebahnya Genuk. Oleh karena itu, dengan hati bulat, Naya Sentika pun tetap memulai pemberontakan dari arah barat, Rembang.
Dan yang pertama kali diserang adalah Lasem, maklum, di kota ini terdapat Gudang Garam. Bangunan gudangnya dibakar, Wedananya ditangkap, dibawa pergi dan akhimya dieksekusi. Dan tempat Wedana Lasem dieksekusi akhimya diabadikan sebagai nama desa, Nggakyang. Maklum pada waktu dieksekusi, sang Wedana mati dalam keadaan berdiri. Mirip seperti tonggak pohon. Sementara, bekas ceceran darahnya dinamakan Sada Merah tapi, sejak peristiwa G 30S/PKI, oleh pemerintah nama desa ini diubah menjadi Sendhang Harjo.
Setelah menyerang Lasem, Naya Sentika pun menuju ke Dukuh Bangsri yang waktu itu dipimpin oleh Ki Gede Toinah yang memang berpihak kepadanya. Dari Bangsri, penyerbuan ke berbagai desa yang berpihak kepada Kompeni pun dilakukan. Selanjutnya, Naya Sentika bersama pasukannya bergerak ke arah tenggara hingga tiba di suatu tempat yang akhirnya dinamakan Desa Ngiorok (artinya arah tenggara, ngalor-ngetan-Jw).
Mendengar terjadi kraman di Bangsri, maka, Bupati Blora pun mengirimkan adiknya yang bernama Pangeran Sumenep untuk memadamkannya. Alih-alih memadamkan, sang pangeran malah jatuh hati pada Dyah Ayu Sumarti. Sekali ini cinta bertepuk sebelah tangan. Dyah Ayu Sumarti dengan tegas menolak cinta Pangeran Sumenep. Karena Pangeran Sumenep tetap memaksakan kehendaknya, maka, Dyah Ayu Sumarti pun lari kepada suaminya yang kala itu sudah berjuluk Noyo Gimbal. Ya … Naya Sentika telah bersumpah tidak akan memotong rambutnya sebelum kompeni enyah dari bumi pertiwi.
Ketika kedua lelaki ini bertemu, pertarungan sengit pun terjadi dan dimenangkan oleh Naya Gimbal. Duel maut ini ternyata sempat melahirkan beberapa nama desa di antaranya Desa Turi, tempat Naya Gimbal mengobati prajuritnya yang luka dengan daun turi muda atau pupus, Desa Semampir, tempat mata salah seorang prajurit Pangeran Sumenep yang tersangkut di pohon, dan Desa Tinggil, tempat prajurit Naya Gimbal bersukaria karena menang perang dan saling mengangkat tubuh.
Ketika Bupati Blora, RTM Cokronegoro mendengar kekalahan adiknya, ia pun jadi berang. Tanpa membuang waktu, ia pun berangkat ke Semarang untuk meminta bantuan pada Belanda. Sementara itu, Naya Gimbal, isteri, Ki Toinah, Ki Samboro, Bejo dan para prajurit yang setia kepadanya meneruskan perjalanan ke arah timur, hingga tiba di Dukuh Sambeng (timur laut, Cepu).
Manakala sebagian prajurit diperintah untuk mengambil sisa senjata di Gunung Genuk, di tengah jalan, mereka bertemu dengan penduduk desa Taunan dan desa Mrayu. Mereka menyarankan agar senjata yang tersisa di Gunung Genuk disimpan di rumah Lurah Desa Mrayu. Saran itu langsung diterima oleh utusan Naya Gimbal. Bahkan sampai sekarang, berdasarkan penelitian pada 1994, senjata yang berupa pedang dan bendhe (gong kecil untuk aba, aba) masih tersimpan dengan apik di Desa Mrayu. Sementara itu, prajurit Blora yang dibantu oleh Belanda terus mengejar Naya Gimbal hingga di Dukuh Sambeng. Sayang, ada penduduk yang berkhianat dan memberitahukan tempat persembunyiannya.
Akhirnya, dengan didahului oleh arak­-arakan pengantin yang diiringi terbang dan jedhor (rebana-Jw), kompeni dan prajurit Kadipaten Blora menyerang tempat persembunyian Naya Gimbal. Malang tak dapat ditolak dan mujur pun tak dapat diraih,banyak penduduk Dukuh Sambeng yang gugur dalam peyerbuan ini.
Oleh Naya Gimbal, akhirnya, desa ini diberi nama desa Besah, yang berasal dari kata Blasah, yang artinya mati bergeletakan. Tak hanya itu, ia pun mengumandangkan kutuk, kelak orang desa Sambeng (karena berkhianat) tak diperkenankan menikah dengan orang Desa besah.
Dalam perang ini tak satu pun peluru mampu menembus tubuh Naya Gimbal. Namun akhimya, ia menyerah dan dibawa ke Kadipaten Blora. Oleh Residen Rembang Naya Gimbal diikat, dimasukkan ke dalam tong, dan di paku kemudian diceburkan ke dalam laut. Setelah itu, Bupati Blora beserta para prajuritnya pun kembali pulang, dan mendapat imbalan hadiah dari Sunan Surakarta. Sayangnya, kematian yang tragis itu mulai dilupakan orang.Akankah legenda perjuangan Naya Gimbal hilang ditelan zaman. Hanya waktu yang mampu menjawabnya.
sumber samudra kisah.
versi yang serupa.tapi sedikit berbeda lokasinya........
NOYO GIMBAL adalah salah satu brandhal di wilayah kabupaten Rembang pada jaman dulu. Nama sebenarnya bukan Noyo Gimbal, tetapi Noyo Sentika. Karena rambutnya yang panjang dan tidak terurus seperti bulu wedus(kambing) orang-orang sering memanggilnya dengan sebutan Noyo Gimbal. Kenapa kok Noyo Gimbal jadi brandhal? Berikut sedikit kutipan ulasannya :
Noyo Sentika ya Noyo Gimbal pada waktu adalah salah satu sesepuh (tuan-tuan) desa di desa Kapasan Kecamatan Sulang, yang membenci sekali sama penjajah-penjajah Belanda. Dikemudian hari Noyo Sentika di perintah menghadap Wedana Sulang. Setelah menghadap, Dia diperintah oleh Wedana Sulang bersamaan dengan masyarakat Kapasan menanam janggleng. Janggleng itu pohon jati yang lagi tumbuh, yang kemudian ketika sudah besar harus diserahkan kepada panguasa Belanda.
Noyo Sentika tetap pada pendiriannya tidak mau menjalankan perintah Wedana Sulang, sehingga keduanya pada terjadi adu mulut dan saling mengadu kesaktian sampai akhirnya Wedana Sulang di jemput ajal (mati). Setelah kejadian itu Noyo Gimbal menjadi buron panguasa Belanda. Mengingat dia sekarang sudah menjadi buron, jadi Noyo Gimbal cepat-cepat melarikan diri sambil mengajak rakyat biasa di sepanjang pelariannya. Ditengah pelariannya, dia selalu mengajak dan menyemangati pengikunya untuk perang melawan penjajah Belanda.
Tidak terasa, dalam pelariannya Noyo Gimbal beserta pengikutnya sampailah disalah satu tempat di sebelah utara Sulang. Di tempat itu, Noyo Gimbal menemukan banyak banyak rumput yang malang di tengah jalan. Noyo Gimbal kemudian mengucap, "lho rumput kok malang di tengah jalan" besok jika ada keramaian jaman, desa ini saya namankan RUMBUT MALANG. Sekarang desa Rumbut Malang berada disebelah utara Sulang. Di Rumbut Malang ini, pelarian Noyo Gimbal diketahui salah satu pengikut Pangeran Sido Laut yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Rembang. Dengan langkah cepat, Noyo Gimbal beserta semua pengikutnya langsung melangkahkan kakinya pergi kearah timur Rembang.
Kemudian sampai disalah satu tempat, yang banyak sekali tanaman gedhang (pisang), dia berhenti sejenak untuk beristirahat. Dia memberi pesan kepada semua pengikutnya, "setalah menjadi tempat yang ramai, tempat ini besok akan menjadi nama desa "Gedhangan"". Setalah hilang rasa lelahnya, Noyo Gimbal dan semua pengikutnya melanjutkan perjalanannya lagi ke utara, sampai ditempat pinggir laut, Noyo Gimbal terheran sebab banyak orang mencari tirem (kerang), padahal di laut kan banyak sekali ikannya, tetapi kok malah pilih mencari tirem. Sebagai pengingat, jika ada keramaiannya jaman, tempat ini dinamakan desa TIREMAN, dari kata tirem.
Penguasa Belanda yang selalu mencari jimat serta orang jago untuk menangkap Noyo Gimbal. Belanda memerintah Demang/bayan Waru, yang kemudian bisa menemukan Noyo Gimbal. Lalu terjadilah peperangan diantara mereka berdua. Tetapi pada akhirnya, Demang Waru memenangkan peperangan itu. Ketika Noyo Gimbal mau dihantam dengan gada, tetapi sebelum menghantam, niat itu di urungkan karena mengetahui Noyo Gimbal saudara tunggal guru sendiri. Sebagai pengingat, tepat itu dinamakan desa GODO.
Melihat Demang Waru mengurungkan niat menangkap Noyo Gimbal, panguasa belanda marah besar. Kemudian mengutus kepada Bupati Rembang sendiri yang menangkap keduanya. Tetapi sebelum menangkap mereka berdua, keduanya sudah menghilang tanpa satu orang pun yang mengetahuinya. Maka, sebagai pengingat anak cucu kelak, kemudian tempat itu dinamakan "Tegal Sekethik". Sekarang tempat ini menurut warga setempat menjadi tempat yang sangat singit/angker yang sekarang menjadi tempat untuk menyepi warga sekitar untuk mencari berkah.
WATU CELENG
Cerita rakyat dari Rembang Jawa Tengah
Berawal dari perjalanan Noyo Gimbal atau Noyo Sentiko, tokoh yang terkenal di Kabupaten Rembang. Ketika para wali sedang giat-giatnya menyebarkan agama Islam di pesisir utara pulau Jawa, terlihatlah seorang petapa yang bernama Noyo Gimbal, kegiatan pertapaannya tersebut dimaksudkan untuk mendapat kesaktian dari Tuhan Yang Maha Esa, ia ingin mendapat kesaktian yang bisa mengusir penjajah Belanda pada waktu itu.
Noyo Gimbal sendiri adalah salah seorang prajurit dari Pangeran Diponegoro yang sangat benci kepada penjajah Belanda. Setelah Pangeran Diponegoro tertangkap oleh penjajah Belanda, para prajuritnya termasuk Noyo Gimbal mengembara kemana-mana. Sedangkan nama Noyo Gimbal sendiri adalah nama julukan dikarenakan rambutnya tidak pernah diurus dan memanjang mulai ia muda hingga ia tua.
Dalam perjalanannya, Noyo Gimbal bersama pengikut-pengikutnya bermaksud mengajak orang-orang untuk melawan penjajah Belanda, berhubung Wedana Sedan yang juga bersekutu dengan Belanda yang berkuasa di tempat itu, maka peperangan antara Noyo Gimbal dengan Wedana Sedan pun terjadi. Disusul kedatangan Belanda yang membawa banyak persenjataan, akhirnya Noyo Gimbal memilih untuk melarikan diri. Dalam pelariannya ia melihat banyak kayu glondong atau balok yang dikumpulkan Belanda menjadi satu untuk dibawa ke suatu tempat, Sehingga tempat itu pun dinamakan “Balokan” kini termasuk wilayah desa karas Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang.
Selanjutnya Noyo Gimbal beserta para pengikutnya melanjutkan pelariannya, supaya tidak tertangkap oleh prajurit Belanda yang mengejar mereka, di tengah perjalanan pengikut Noyo Gimbal melihat seekor babi hutan yang menghadang pelarian mereka, dengan cepatnya mereka melapor ke Noyo Gimbal, oleh Noyo Gimbal babi itu di sebut batu karena merupakan penghalang perjalanan mereka yang dalam bahasa Jawa “iku watu dudu Celeng”. Anehnya setelah kata-kata itu terlontar dari mulut Noyo Gimbal, seketika babi itu berubah menjadi batu, hingga sekarang seekor babi hutan yang berubah menjadi batu itu pun masih bisa kita jumpai di Dukuh Ngaglik termasuk Desa Majasari Kecamatan Sedan.
Masih banyak cerita yang tersimpan di setiap tempat, dan ini termasuk salah satu cerita dari Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang yang dipercaya kebenarannya hingga sekarang masih bisa dilihat wujud atau buktinya.
Sumber: Buku Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang jilid 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar