Senin, 07 Maret 2016

Dari Demak ke Pajang dengan Setan Kober


  Gugurnya Adipati Kudus (Pati Unus, Pangeran Sabrang Lor) pada tahun 1521 dalam penyerangannya ke Malaka yang dukuasai Portugis, mendesak adanya pergantian tahta di Kerajaan Demak.Karena Adipati kudus tak mempunayi keturunan, maka terjadilah perebutan tahta antara Raden Kikin dan Raden Trenggana, keduanya adalah adik dari Adipati Kudus.Raden Kikin yang lahir dari selir putri bupati Jipang, akhirnya tewas di tangan orang suruhan atau pembantunya Raden Mukmin yang bernama Ki Surayata. Raden Mukmin disebut juga Sunan Prawoto, putera pertama Raden Trenggana. Pembunuhan ini dilakukan setelah Salat Jumat ditepi sungai, dengan menggunakan keris Kiai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus. Sejak tewasnya itu, Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar seda ing Lepen. Pangeran Sekar Seda ing Lepen meninggalkan dua orang putra dari dua orang istri, yang bernama Arya Penangsang dan Arya Mataram.

Ini berati perebutan tahta dimenangkan Raden Trenggana. Pada tahun yang sama, yaitu 1521, Raden Trenggana naik tahta, pada waktu itu belum ada gelar Sultan pada raja Demak ini. Barulah menggunakan gelar sultan setelah tiga tahun kemudian, pada tahun 1524. Gelar ini ada karena seorang pemuda dari Pasai bernama Fattahilah yang memperkenalkan gelar bernuansa Arab, sebagai mana yang sudah lazim dipakai raja-raja Islam di Sumatera. Maka Trenggana bergelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Tetapi lebih dikenal dengan Sultan Trenggana.

Pemerintahan Sultan Trenggana berakhir pada tahun 1546, ia gugur di Panarukan, Situbondo dalam upayanya melebarkan sayap Kerajaan Demak. Raden Mukmin naik tahta, menggantikan Ayahnya yang gugur. Raden Mukmin ini berambisi untuk melanjutkan usaha ayahnya melebarkan sayap untuk menaklukan Pulau Jawa. Namun, ketrampilannya di bidang politik kurang baik, ia cendurung hidup sebagai ulama dari pada raja. Raden Mukmin memindahkan pusat pemerintahan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto. Lokasinya saat ini kira-kira adalah desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Oleh karena itu, Raden Mukmin terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.

Kejadian pembunuhan Pengeran Seda ing Lepen oleh ki Suryatama utusan Sunan Prawoto, nampaknya menyisakan dendam. Pada tahun 1549 putra Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang pun menuntut balas. Sunan Kudus selaku gurunya juga guru ayahnya memberi dukungan, berupa peminjaman senjata keris Kiai Setan Kober. Arya Penangsang mengutus orang bernama Rangkud, dengan dipersenjatai keris Kiai Setan kober. Rangkud melakukan aksinya ketika Sunan Prawoto sedang tidur dibiliknya bersama istrinya. Ketika Rangkud berhasil menyusup ke bilik tempat tidur Sunan Prawoto, sebelum melakukan pembunuhan, Sunan Prawoto mengakui kesalahannya telah menyuruh Ki Suryatama membunuh Raden Kikin. Dia rela dihukum mati, dengan syarat keluarganya diampuni. Rangkud menyetujui persyaratan itu, lalu menikam dada Sunan Prawoto yang pasrah tanpa perlawanan sampai tembus. Ternyata istri Sunan Pranowo berlidung dibalik badannya, istri Sunan Prawoto pun terkena hujaman keris Kiai Setan Kober. Melihat istrinya terkena hujaman yang melewati tubuh, Sunan Prawoto pun marah. Dengan sisa-sisa tenaganya, Sunan Prawoto menyerang balik Rangkud. Akhirnya mereka bertiga tewas hampir bersamaan dalam bilik yang sama. Sunan Prawoto tewas meninggalkan seorang putri yang bernama Rara Intan. Putri yang menjadi yatim piatu ini kemudian tinggal bersama Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto.

Ratu Kalinyamat menemukan bukti keterlibatan Sunan Kudus dalam pembunuhan kakaknya, Sunan Pranowo. Ratu Kalinyamat bersama suaminya yang bernama Pangeran Hadari (Adipati Jepara) pergi ke Kudus, untuk mendatangi Sunan Kudus meminta pertanggung jawabannya. Tapi Sunan Kudus memberikan jawaban, kalau Sunan Pranowo tewas karena karma. Tentunya jawaban itu bukan yang diinginkan Ratu Kalinyamat.

Dengan penuh rasa kecewa, Ratu Kalinyamat bersama Pangeran Hadari pulang ke Jepara. Ditengah perjalan pulang, Ratu Kalinyamat diserbu anak buah Arya penangsang. Penyerbuan ini menewaskan Pangeran Hadari, sedangkan Ratu Kalinyamat sendiri berhasil lolos dan selamat.

Tidak hanya penyerbuan sergapan perjalanan pulang Ratu Kalinyamat, Arya penangsang juga mengirim anak buahnya menyerang Hadiwijaya (Adipati Pajang) yang dianggap saingan beratnya. Empat anak buah Arya Penangsang yang dibekali atau dipersenjatai keris Kiai Setan Kober, mampu dikalahkan Hadiwijaya dan dipulangkan secara hormat. Hadiwijaya yang juga menantu dari Sultan Trenggana mendatangi Arya Penangsang untuk mengembalikan keris Kiai Setan Kober. Keduanya terlibat pertengkaran, namun dilerai oleh Sunan Kudus. Kemudian Hadiwijaya pamit pulang. sepulangnya Hadiwijaya, Sunan Kudus menyuruh Arya Penangsang untuk puasa 40 hari, untuk menghilangkan Tuah Rajah Kalacakra yang sebenarnya akan digunakan menjebak Hadiwijaya.

SAYEMBARA BERHADIAH

Dalam perjalanan pulang ke Pajang, Hadiwijaya berserta rombongannya singgah ke Gunung Dananraja, tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Dalam pertemuannya itu, Ratu Kalinyamat mendesak Hadiwijaya untuk segera menumpas Arya Penangsang. Ia yang mengaku sebagai pewaris tahta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan menyerahkan Demak dan Jepara jika Hadiwijaya menang.

Sebagai sama-sama murid Sunan Kudus dan anggota keluarga Demak, Hadiwijaya sendiri segan memerangi Arya Penangsang secara langsung. Maka, Hadiwijaya membuat sebuah sayembara berhadiah. Sayembara diumumkan, barang siapa membunuh Adipati Jipang Panolan, akan mendapat hadiah berupa tanah Pati dan Mataram.

Sayembara diikuti kedua kakak angkat Hadiwijaya, yaitu KI Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi di bantu oleh Ki Juru Martani.

Berangkatlah rombongan penumpas Arya Penangsang, Ki Ageng Pemanahan mengajak anaknya yang bernama Sutawijaya. Operasi penumpasan Arya Penangsang ini merupakan debut pertama bagi Sutawijaya dalam berperang, usianya baru belasan tahun. Hadiwijaya merasa tidak tega, dan menyertakan pasukan Pajang dalam operasi penumpasan tersebut.

Ketika rombongan Ki Ageng Pemenahan beserta pasukan Pajang datang menyerang Jipang. Arya Penangsang sedang berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Pekatik kuda yang sudah dipotong telinganya oleh Ki Ageng Pemanahan, datang menghadap Arya penangsang dengan membawa surat tantagan dari Hadiwijaya. Setelah membaca surat tantangan, Penangsang marah. Adiknya, Arya Mataram, sudah berusaha meredam kemarahan dan berusaha mencegah Penangsang untuk pergi ke medan perang. Tetapi Arya Penangsang tetap berangkat ke medan perang di bengawan sore dengan menungganggi kudanya, Gagak Rimang. Kuda Gagak Rimang adalah andalan penangsang, kuda jantan ini sangat kuat dan bernafsu besar.

Gagak Rimang yang tangguh ini sudah tersiar kabarnya, pihak Ki Ageng Pemanahan mengetahui hal itu. Ki Juru Martani membuat strategi, dengan menyuruh Sutawijaya menghadapi Penangsang dengan menunggang kuda betina. Strategi itu nampaknya berhasil membuat Gagak Rimang tak terkendali karena nafsunya melihat kuda betina tunggangan Sutawijaya, Dikejarlah Sutawijaya oleh Arya Penangsang, pengejaran hingga melompati bengawan sore. Akibat Gagak Rimang yang tak terkendali karena nafsu birahi, mengakibatkan Penangsang terkena tombak Kiai Plered, senjata Sutawijaya. Akibatnya perut Arya penangsang robek, meskipun demikian Penangsang tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkan pada gagang keris yang terselip dipinggangnya.

Keadaan justru berbalik, posisi Sutawijaya mejadi berbahaya. Tombak Kiai Plered terlepas dari genggamannya, dan ia terpeleset jatuh didepan Penangsang. Adipati Jipang itu bersiap mencabut kerisnya, Kiai Setan Kober, untuk dihujamkan ke tubuh Sutawijaya. Orang-orang Sela dan Pajang yang menyaksikan kejadian pun itu miris. Ajal anak angkat Hadiwijaya itu kelihatannya sudah berada didepan mata.

Anak muda belasan tahun ini terkesima melihat kesaktian lawannya. Luka parah di perut Penangsang akibat tombak Kiai Plered, tak segera menewaskannya. Bahkan ususnya terburai hanya dililitkan di keris Kiai Setan Kober, ini membuat Sutawijaya melongo keheranan.

Sebenarnya dalam keadaan seperti itu, Sutawijaya masih mampu mencabut kerisnya, Kanjeng Kiai Toya Tinembak, yang terselip dipinggangnya, untuk ditusukan ke tubuh Penangsang. Namun keheranan yang besar membuat Sutawijaya yang belum berpengalaman perang itu khilaf. Tersadar dari keheranannya, Arya Penangsang sudah lebih dulu mencabut Keris Kiai Setan Kober. Tetapi justru penangsang yang roboh setelah mencabut kerisnya itu. Adipati Jipang itu tewas dengan kerisnya sendiri. Kiai Setan Kober telah memutus usus Penangsang yang dililitkan di keris yang terselip dipinggangnya itu.

Dengan gugurnya Penangsang, tentunya Sutawijaya memenangkan perang tanding itu, dan operasi penumpasan Arya Penangsang pimpinan ki Ageng pemanahan berhasil. Peristiwa itu terjadi pada tahun yang sama dengan peristiwa terbunuhnya Sunan Prawoto, yakni tahun 1549.

Peristiwa gugurnya Penangsang ini ada dampak budayanya sampai sekarang. Arya Penangsang melahirkan tradisi dalam pakaian Jawa, khususnya busana pengantin pria. Pangkal keris yang dipakai pengantin pria seringkali dihiasi untaian bunga mawar dan melati. Ini merupakan lambang pengingat supaya pengantin pria tidak berwatak pemarah dan ingin menang sendiri sebagaimana watak Arya Penangsang.

Tapi bagi masyarakat sekitar Cepu entah itu yang berada di Kabupaten Blora maupun Kabupaten Bojonegoro berpendapat lain. Untaian bunga melati pada keris pengantin pria Jawa diibaratkan sebagai lambang kegagahan Arya Penangsang. Meskipun telah terburai isi perutnya, namun Arya Penangsang tetap masih mampu tegap berdiri hingga titik darah penghabisan. Dari perlambang itu, diharapkan sang pengantin laki-laki kelak bisa menjaga kemakmuran, kebahagiaan, keutuhan dan kehormatan rumah tangga meski dalam keadaan kritis seperti apa pun. Seperti halnya Arya Penangsang yang tetap memegang prinsip hingga ajal tiba.


PEMINDAHAN DAN PEMBAGIAN HADIAH

Setelah Jipang berhasil ditaklukan, pusat Kerajaan Demak dipindah ke Pajang. Ini karena hibah kekuasaan dari pewaris tahta Sunan Pranowo, yaitu Ratu Kalinyamat. Hadiwijaya menjadi Raja Pajang yang pertama. Demak kemudian dijadikan kadipaten, anak Sunan Prawoto yang menjadi Adipati. Dan sesuai dengan perjajian sayembara, Ki Panjawi mendapat tanah di Pati dan bergelar Ki Ageng Pati.

Sementara itu Ki Ageng Pemanahan masih menunggu penyerahan hadiah sayembara. Karena sepertinya Hadiwijaya enggan memberi hadiah tanah Mataram, setelah mendengar ramalan Sunan Prepen, bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan besar yang mampu mengalahkan kebesaran Pajang.

Akhirnya masalah ini selasai setelah Sunan Kalijaga menjadi penenggah setelah mendengar permasalahan kedua muridnya itu. Sunan Kalijaga meminta Hadiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia kepada Pajang. Ki Ageng Pemanahan pun bersedia. Maka, Hadiwijaya rela menyerahkan tanah Mataram pada kakak angkatnya itu.

Tanah Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat tanah perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti. Kelak Mataram akan menjadi Kerajaan besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar