Tajau atau Balanga adalah jenis guci keramik khas Suku Dayak. Bentuk Tajau dapat pula dikategorikan sebagai tempayan besar yang terbuat dari tanah berlapis seperti porselen. Bagi suku Dayak, tajau termasuk barang yang bernilai sakral dan memiliki harga yang tinggi dibanding jenis keramik yang lainya. Hal tersebut dikarenakan bahan yang digunakan dalam pembuatan Tajau tidak hanya dari tanah liat semata, tetapi juga dicampur oleh serbuk emas, batu intan atau benda berharga lainya.
Motif dan ukuran tajau sangat bervariasi. Untuk mengamati, mengetahui asal usul, perkiraan tahun pembuatanya dan kualitas pembuatanya dibutuhkan pengamatan yang sangat cermat. antara lain dengan mengamati lukisan yang ada pada tajau tersebut, sebab tajau ada dua jenis yaitu tajau Laki-laki dan tajau Perempuan.
Sementara itu untuk fungsi tajau sendiri dipergunakan sebagai barang adat pada acara meminangan gadis, tempat menyuguhkan sesaji bagi para leluhur atau roh-roh suci.
TEMPAYAN KALIMANTAN MENURUT SEBUAH TEKS MELAYU TAHUN 1839
Tempayan dari Kalimantan, dan lebih umum tempayan tanah liat yang tersebar di Asia Tenggara, telah menjadi topik sejumlah penelitian. Namun kita belum mengetahui dengan baik keseluruhan sejarahnya, ciri-cirinya dari segi teknis maupun estetis, serta penggunaannya dalam berbagai suku bangsa di Kalimantan. Teks yang kami edit di sini berisi deskripsi berbagai jenis tempayan yang beredar di daerah Sintang di awal abad ke-19. Tempayan adalah benda yang sangat menarik. Teks tersebut juga benda yang menarik, oleh karena naskah Melayu yang bersifat deskriptif, apalagi yang bergambar, sangat langka.
Teks Melayu ini terkandung dalam satu naskah saja bertanggal tahun 1839. Naskah itu rupanya hanya satu di antara sejumlah salinan lain, karena naskah itu sendiri bermaksud dijual. Naskah mencantumkan nama pemiliknya (Mahbud), yang mungkin juga penyalinnya, atau bahkan pengarangnya. Tahun 1839 kirannya tahun penyusunan teks aslinya, karena tahun itu tercantum di tengah naskah, bukan dalam kolofon yang mungkin saja ditambah kemudian oleh seorang penyalin. Pengarang menyatakan telah menyusun teks itu di Nanga Kayang, di lembah Sungai Melawi, ketika mendampingi Seri Paduka Maulana Duli Tuanku Pangeran Ratu Idris Kusuma Nagara, yakni kiranya pejabat tinggi kesultanan Pontianak. Apakah pengarang mendampinginya dalam perjalanan tugas di Nanga Kayan ataukah ke pasar tempayan di Sintang? Apa pun halnya,
ia menyempatkan diri untuk menyusun buku pegangan (peta) tempayan itu
dan menyebarkannya dengan cara yang amat orisinal: orang boleh membelinya per lembar atau bahkan per gambar saja, yang berarti pasti tersedia beberapa salinan.
ia menyempatkan diri untuk menyusun buku pegangan (peta) tempayan itu
dan menyebarkannya dengan cara yang amat orisinal: orang boleh membelinya per lembar atau bahkan per gambar saja, yang berarti pasti tersedia beberapa salinan.
C. Kater, seorang pejabat Belanda yang menerjemahkan sebagian teks itu sekitar 30 tahun kemudian, menjelaskan bahwa naskah itu digunakan sebagai pedoman oleh para pedagang di Sungai Melawi. Tambahnya, orang baru dapat berdagang tempayan kalau mengenal benda itu dengan sangat baik, dan ia mengutip contoh seorang pedagang Sintang yang malang bernama Tuah, yang membeli sebuah belanga di Semarang dengan harga 1400 gulden dan menjualnya kembali di Sintang untuk dua setengah gulden saja.
Jadi, teks Melayu ini bukan katalog melainkan sebuah pedoman yang relatif sistematis, guna membantu para pedagang dan pembeli dalam mengenali berbagai tempayan dan mengetahui harganya. Sintang, kota kecil di tepi Sungai Kapuas, jauh di hulu pesisir barat Kalimantan, adalah salah satu pusat perdagangan tempayan. Setiap tahun digelar pasar tempayan yang didatangi pengunjung dari segala penjuru pulau: penduduk Pontianak datang naik perahu; orang Iban datang berjalan kaki dari Serawak, orang dari selatan, antara lain orang Ngaju, menggunakan jalan sungai; orang dari bagian timur pulau juga datang. Di pasar itu, tempayan biasa berharga sekitar 8 hingga 200 gulden, sedangkan tempayan warisan yang bagus jauh lebih mahal. Tempayan belanga, yang termasuk yang paling dihargai dapat mencapai 5000 gulden. Bahkan tempayan yang cacat dapat berharga hingga 1000 gulden kalau modelnya langka.
Tempayan: Asal-usul dan Guna
Tempayan pada dasarnya adalah perabot. Tempayan dari gerabah mula-mula hanya dibuat di Cina, kemudian juga diproduksi di Vietnam, Thailand dan Burma. Karena sangat kuat, ia cocok sekali untuk menyimpan cairan dan makanan yang dapat membusuk. Tempayan dibuat dalam jumlah yang amat banyak dan terutama dipakai untuk menyimpan barang di suatu tempat atau mengangkutnya di laut. Jadi, tidak mengherankan kalau ditemukan di daerah yang jauh dari tempat asalnya. Ia ditemukan sepanjang rute-rute perdagangan maritim terpenting, namun persebarannya melampaui pelabuhan-pelabuhan singgah biasa, oleh karena sering dipakai ulang.
Peran sebagai wadah penyimpan di ranah domestik serta dalam pengangkutan maritim itu tidak asing bagi suku-suku di Kalimantan, namun suku-suku itu telah menggunakan tempayan secara lebih beragam dan memberinya tata nilai yang lebih rumit. Ciri khusus itu, yang hanya terdapat juga di tengah orang pegunungan di Vietnam dan di Filipina, tentu saja dimanfaatkan untuk kepentingan dagang, dan baru kemudian diteliti dari sudut etnologi. Di Kalimantan, tempayan memang benda berharga yang menandai martabat dan kekayaan keluarga. Tempayan terkait dengan adat minum-minum dan terutama dengan ritus-ritus tertentu, antara lain ritus pemakaman. Tidak jarang terjadi di masa lampau, bahwa tulang-tulang (kadang abu) jenazah seseorang, bahkan beberapa orang, dikumpulkan di dalam sebuah tempayan dalam upacara pemakaman kedua. Kadang terjadi jenazah diletakkan dalam sebuah tempayan yang dibelah, dalam posisi tertekuk yang ditentukan pada upacara pemakaman pertama. Kebiasaan ini terekam pada awal abad ke-17 dalam teks Tionghoa, Donxiyankao, yang mencatat tentang orang Kalimantan selatan: ―Orang Banjarmasin ingin dikubur di dalam tempayan berhiaskan
naga. Naga-naga tersebut, yang digambarkan secara mendetail dalam teks Melayu kita, mulai menghiasi tempayan Tionghoa yang diekspor ke Nusantara pada abad ke-13 atau ke-14. Pada awalnya gambar itu hanya seekor naga kecil di samping pegangan tempayan, lalu mulai abad ke-14 gambar itu menjadi relief di bagian pundak, kemudian menjadi lebih panjang di bagian perut, dan makin lama semakin menjadi hiasan tempayan yang lazim. Naga itu rupanya mempunyai peran simbolis dalam ritus kematian, dan dengan demikian naga Tionghoa yang mulanya berperan sebagai perantara bumi dengan langit, memperoleh fungsi baru sebagai penghubung antara orang yang hidup dengan yang mati.
naga. Naga-naga tersebut, yang digambarkan secara mendetail dalam teks Melayu kita, mulai menghiasi tempayan Tionghoa yang diekspor ke Nusantara pada abad ke-13 atau ke-14. Pada awalnya gambar itu hanya seekor naga kecil di samping pegangan tempayan, lalu mulai abad ke-14 gambar itu menjadi relief di bagian pundak, kemudian menjadi lebih panjang di bagian perut, dan makin lama semakin menjadi hiasan tempayan yang lazim. Naga itu rupanya mempunyai peran simbolis dalam ritus kematian, dan dengan demikian naga Tionghoa yang mulanya berperan sebagai perantara bumi dengan langit, memperoleh fungsi baru sebagai penghubung antara orang yang hidup dengan yang mati.
Kriteria penilaian tempayan beragam, tergantung apakah tempayan digunakan sebagai tempat air minum atau alat ritual, serta apakah menurut tradisi sebuah tempayan pernah terkait dengan keajaiban atau bahkan peristiwa gaib. Jadi, penilaian berdasarkan kriteria yang tidak rasional, termasuk kemiripan dengan tempayan terkenal atau adanya hiasan yang mengingatkan pada alam mitos. Tempayan belanga misalnya, yang termasuk yang paling berharga, dianggap memiliki asal usul gaib yang berkaitan dengan penciptaan dunia, dengan dunia hewan dan dengan kerajaan Majapahit. Menurut legenda yang disalin oleh Schwaner, tempayan itu adalah hasil karya Ratu Campa yang membuatnya ketika ia berada di Majapahit, dengan bahan yang pernah digunakan waktu dunia diciptakan. Setelah Ratu Campa kembali ke langit, tempayan-tempayan itu menghilang dalam bentuk hewan, tetapi kalau seekor hewan itu dibunuh dalam pemburuan, maka ia kembali menjadi tempayan. Mallinckrodt melaporkan suatu versi berbeda: tempayan-tempayan itu diciptakan dari bahan tanah liat dari bulan, oleh makhluk keinderaan yang telah memperistrikan putri raja Majapahit. Sekembalinya ke langit, beberapa tempayan menghilang dalam wujud kijang.
Status istimewa tempayan Kalimantan itu menyebabkan ia terus diimpor, karena tidak diproduksi secara lokal. Baru pada akhir abad ke-19 tukang gerabah dari Tiongkok datang ke Kalimantan dan membuat tempayan dari tanah liat dengan menggunakan teknik perakitan dan pembakaran tradisional. Di Kalimantan, tukang gerabah Tionghoa yang berasal dari Guangdong menetap di Singkawang, kira-kira seratus kilometer di utara Pontianak, terutama untuk memproduksi tempayan. Di Sabah dan Sarawak, tukang gerabah dari daerah Chaozou menetap lebih kemudian, di awal abad ke-20.
Pada masa sebelumnya, tempayan datang melalui jejaring perdagangan yang dikendalikan oleh pedagang asing. Namun tata penilaian tempayan, berdasarkan sejarah tempayan itu sendiri, senantiasa berbeda dari satu daerah ke daerah lain di Kalimantan, dan perbedaan itu mendukung penyebaran tempayan. Jadi, tempayan tertukar melalui berbagai transaksi rumit, bisa melalui barter dengan pedagang-pedagang asing, bisa juga melalui pertukaran benda-benda berharga lainnya, sesuai sistem ―uang beragam jenis.
Peran tempayan yang begitu istimewa dalam tatanan sosial, serta kecenderungan mengumpulkan tempayan sebagai simbol martabat telah diamati oleh para pelancong, para etnolog dan orang asing yang bermukim di daerah-daerah itu. Kebanyakan pengamat itu mencatat berbagai kegunaan tempayan dan statusnya yang istimewa dalam masyarakat setempat. Namun hanya beberapa penulis saja berusaha mendaftarkan nama berbagai jenis tempayan itu secara sistematis. Misalnya Paul Guilleminet yang secara saksama mengelompokkan dan memerikan berbagai tempayan yang digunakan oleh orang Bahnar di dataran tinggi di Indocina pada awal abad ke-20, serta juga F.S. Grabowski, yang pada akhir abad ke-19 berusaha mendaftarkan tempayan-tempayan yang dilihatnya di desa-desa di wilayah Kuala Kapuas, Kalimantan Timur, menurut nilainya masing-masing. Kedua pakar itu menyertakan berbagai gambar pada klasifikasi mereka, sehingga kita dapat mengenali tipe-tipe yang bersangkutan.
Teks Melayu yang kami sajikan ini, dan yang jauh lebih tua daripada kedua tulisan di atas, termasuk upaya yang sangat langka untuk mencakup keseluruhan tempayan. Teks itu menguraikan ciri-ciri khusus serta nilai relatif dari sejumlah tempayan, sambil memerikan dengan terperinci bentuk, ukuran, jumlah pegangan, warna dan mutu glasir, serta hiasan. Tempayan yang dideskripsikan dan digambar tergolong beberapa kelompok yang masing-masing mempunyai suatu nama, ditambah nama yang lebih spesifik sesuai variasi hiasan dalam tiap kelompok. Penulis mengutamakan tempayan- tempayan yang digemari di daerah tersebut, sehingga kelompok-kelompok yang dipaparkan tidak meliputi semua model yang dikenal di Kalimantan.
Di Kalimantan pada masa itu sebenarnya tempayan antik tiruan juga diperdagangkan, dan penjual tempayan palsu itu diperkarakan. Di Simanggang (Sarawak), seorang pejabat Melayu tua terlibat dalam penjualan sebuah tempayan antik palsu dengan harga sangat tinggi. Setelah konsultasi dengan ahli-ahli, pembeli Dayak yang mengetahui sudah ditipu, berupaya untuk mendapatkan uangnya kembali. Perkara itu begitu heboh sehingga sampai di pengadilan Rajah Charles Brooke yang kemudian menghukum si penjual dengan kurungan selama dua tahun. Kisah ini menggarisbawahi peran para ahli pribumi, yang memiliki pengetahuan mendalam tentang berbagai model tempayan berdasarkan pengamatan yang teliti dan terperinci seperti dilakukan juga oleh penulis teks kita.
Gambar-gambar dalam naskah hanya menyangkut sebagian dari berbagai tempayan yang diperikan. Beberapa di antaranya termasuk yang paling tua yang ditemukan di Nusantara, malah memakai kata tua dalam namanya (mis. guci daun tua). Ini adalah tempayan model guci, yang juga terdapat dalam klasifikasi Grabowski tahun 1881 mengenai berbagai tempayan yang terdapat di desa-desa di muara Sungai Kapuas (kini provinsi Kalimantan Tengah). Guci-guci tersebut banyak jumlahnya dalam koleksi Suaka Purbakala di Prambanan, berasal dari situs-situs di Jawa Tengah abad ke-8 dan ke-10. Guci itu sangat dihargai dan dicari oleh orang Dusun di kawasan utara Kalimantan, dan mencerminkan perdagangan antara Tiongkok dan Kalimantan pada jaman itu. Penulis teks kita memerikan guci itu secara sangat terperinci, dengan menekankan tinggi lehernya, ukuran mulut dan dasar, juga penataan telinga (pegangan), dan ia menggarisbawahi pentingnya leleran glasir dalam penilaiannya. Pengamatan yang terperinci ini berhasil membedakan berbagai macam guci dengan nama-nama berbeda. Kita dapat dengan mudah membayangkan kejutan estetis penduduk Kalimantan di hadapan tempayan-tempayan besar itu dengan glasirnya berwarna coklat muda bernada hijau zaitun yang bersinar, dan dengan hiasan glasir tak rata yang kadang berakhir dalam bentuk tetesan tebal. Benda-benda itu luar biasa, bersinar dan berbunyi nyaring, sama sekali asing bagi seni setempat, karena pada masa itu hanya orang Tionghoa mampu membuat gerabah berglasir yang memberikan pada tempayan sinar dan bunyinya. Maka tempayan-tempayan itu langsung diasosiasikan dengan alam mitos.
Sebuah kelompok besar tempayan yang lain adalah gelagiu.Dalam hal ini pun, kita pasti terkesan melihat betapa terlatih mata sang ahli. Semua hiasan yang dapat ditemukan dalam satu kelompok tergabung dalam satu skema, dan semua tipe itu sebenarnya dapat merujuk pada satu produksi saja. Kalau tipe-tipe itu dibandingkan dengan tempayan yang tersimpan dalam berbagai koleksi, maka yang tertua kelihatan mirip dengan tempayan yang dibuat di Vietnam pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, seperti jelas tampak pada beberapa tempayan yang ditemukan di kapal karam. Namun, keragaman hiasan tambahan juga terdapat pada tempayan-tempayan Tionghoa yang produksinya telah berlangsung lama, hingga masa yang kurang lebih sejaman dengan teks kita. Tempayan-tempayan tersebut umumnya mempunyai
telinga vertikal dan pola tali tambang‖ horisontal berelief berupa garis-garis terputus-putus seperti pada skema sebagai hiasan tambahan.
telinga vertikal dan pola tali tambang‖ horisontal berelief berupa garis-garis terputus-putus seperti pada skema sebagai hiasan tambahan.
Bagi kelompok besar tempayan berhiasan naga (belanga ,lakian , brahan, tajau macan dan lainnya), dalam hal ini juga penggambar (yaitu penulis) menonjolkan tipe yang kiranya menjadi tipe dasar, sambil mencatat berbagai variasi dalam penggambaran naga. Penulis tidak memberikan informasi tentang perkembangan kelompok ini dalam sejarah, namun dapat diperkirakan bahwa menurut adat setempat tempayan yang tertua adalah yang tertinggi nilainya.
Tujuan teks kita ialah menjadi buku pegangan tentang sebanyak mungkin tipe tempayan, dari yang paling kuno hingga yang paling baru. Berbeda dengan klasifikasi yang lain, di mana setiap tempayan diperikan dan disebut harganya, di sini (walaupun teks terpecah berupa fasal-fasal terpisah) tipe-tipe tempayan berbeda yang dipaparkan banyak jumlahnya (lebih dari 40), namun sejumlah besar sebenarnya terdiri atas beberapa tipe dasar saja, yang berbeda-beda karena variasi kecil dalam hiasan. Mengingat tempat dan jaman asal teks itu, pendekatan ini sangat modern dan menunjukkan bahwa penulisnya sangat cerdas dan sistematis.
Bahwa beberapa kelompok tempayan tidak disebut-sebut tidak dapat menjadi dasar kesimpulan apa pun. Tempayan yang dinamakan Syam misalnya, yang diketahui diimpor di Nusantara, khususnya di Kalimantan, dalam jumlah banyak pada abad ke-15 hingga 17, tidak dibicarakan dalam teks ini. Tetapi kita tidak dapat memastikan bahwa teks kita merupakan salinan
seutuhnya dari naskah asli buku pegangan itu.
seutuhnya dari naskah asli buku pegangan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar