Desa Trunyan tetap menyimpan masa lalunya. Desa kecil di tepi Danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli ini terbilang desa kuno yang disebut desa Bali Aga dan Bali Mula, dengan keunikan yang tetap terpelihara hingga kini....
Desa Truyan memang agak memencil. Jalan darat dari Panelokan, Kintamani, hanya sampai di desa Kedisan. Kalau ingin melanjutkan ke Trunyan, perjalanan harus diteruskan dengan menyeberangi Danau Batur, sekitar 45 menit dengan perahu bermotor atau 2 jam dengan perahu lesung yang digerakan dengan dayung. Ada memang jalan darat lainnya, yakni lewat jalan setapak melalui desa Buahan dan Abang. Di sebelah timur bibir Danau batur itulah letak desa Trunyan.
Danau Batur sepanjang 9 kilometer dan lebar 5 kilometer itu menjadi teramat penting artinya bagi warga Trunyan dab desa-desa sekitarnya. Selain untuk sarana transpirtasi, juga untuk sarana air bersih dan pertanian. Khususnya bagi masyarakat Bali Selatan dan TImur, termasuk Trunyan. Dengan panorama danau yang indah dan hamparan tanah pertanian yang menghijau, juga suhu yang rata-rata 12 sampai 17 derajat celcius, Trunyan seperti sepenggal kedamaian di tepi Batur.
UNIK DAN PENUH MISTERI
Sejak lama Trunyan menjadi daya tarik tersendiri. Trunyan yang dikenal sebagai dessa Bali Aga-sebutan untuk orang Bali pegununggan-dan Bali Mula atau Bali asli itu menjadi terkenal karena memiliki banyak keunikan. Cerita turun temurun menyebutkan penduduk desa Trunyan adalah keturunan penduduk asli Pulau Bali, yang sudah menjadi penghuni pulau Bali, jauh sebelum kedatangan Majapahit pada abad ke-14.
Salah satu keunikan masyarakat Trunyan adalah tradisi pemakaman yang tetap mereka lakukan hingga saat ini. Bila ada warga yang meninggal, jenazahnya tidak dimakamkan sebagaimana lazimnya, tetapi ditaruh di atas batu besar yang memiliki 7 cekungan. Cekungan itu terbentuk secara alamiah saat Gunung Agung meletus. Jenazah orang yang meninggal kemudian diletakan di atas cekungan batu. Hanya dipagari bambu anyam secukupmya. Uniknya, meskipun sudah berhari-hari dan tidak dibalsem, jenazah sama sekali tidak berbau.
Rahasia mayat-mayat yang tidak menyebarkan bau busuk itu ternyata ada pada pohon Taru Menyan yang dibiarkan tumbuh lestari dan rimbun di sekitar tempat pemakaman tersebut. Bau harum yang dikeluarkan oleh pohon Taru Menyan ini mengalahkan bau busuk yang dikeluarkan oleh jenazah yang membusuk, sampai akhirnya tinggal tulang belulang. Konon nama Desa Trunyan diambil dari nama pohon Taru Menyan ini.
Meskipun beragama Hindu, mereka tidak pernah melakukan upacara kremasi seperti halnya yang dilakukan orang Bali. Upacara ngaben, yakni upacara pembakaran jenazah, tidak berlaku bagi penduduk Truyan. Di daerah ini, jenazah tidak pernah dibakar (kremasi), melaikan hanya diletakan di tanah pengkuburan. Lokasi kuburan juga biasanya tidak terletak di dalam wilayah desa Trunyan, tetapi 500 meter di luar desa, dan hanya bisa dicapai dengan perahu.
Menurut tradisi, kuburan di daerah Trunyan dibagi dalam tiga klasifikasi, yakni berdasarkan umur orang meninggal, keutuhan kondisi jenazah dan cara penguburan. Kuburan utama adalah kuburan yang dianggap paling suci dan paling baik. Jenazah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenazah yang jasadnya utuh, tidak cacat, serta jenazah yang proses meninggalnya dianggap wajar, bukan karena bunuh diri atau kecelakaan.
Kuburan yang kedua disebut Kuburan Muda, khusu diperuntukan bagi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat bahwa jenazah tersebut harus utuh dan tidak cacat. Sedangkan kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas, khusu untuk tempat jenazah yang cacat dan yang meninggal karena salah pati ataupun ulah pati (meninggal secara tidak wajar).
Dari ketiga jenis kuburan tersebut, yang paling unik dan menarik adalah kuburan utama atau kuburan suci (Setra Wayah). Seperti apa keunikannya? Kita sambung pada postingan berikutnya. ........BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar