Sabtu, 13 Desember 2014

SEJARAH PACITAN

Pacitan jaman Pra Sejarah
Berbagai temuan arkeologi menunjukkan bahwa ternyata Pacitan sudah dihuni pada masa-masa pra sejarah. Benda-benda yang ditemukan tersebut diduga merupakan alat-alat kerja tingkat sederhana jaman Prasejarah yang digunakan pada masa berburu dan mengumpulkan makan. Dikenalnya Pacitan sebagai situs arkeologi dimulai sekitar tahun 1935 saat Gustav Heinrich Ralph von Keningswald, seorang paleontology dan geology dari jerman serta M.W.F. Tweedie menemukan situs Kali Bak Sooka di Kecamatan Punung. Situs ini merupakan Bengkel Manusia Purba Terbesar dari kebudayaan Paleolitik atau lebih dikenal sebagai budaya Pacitanian. Selanjutnya ditemukan kurang lebih 261 lokasi situs prasejarah dengan 3000 temuan artefak.
Temuan artefak di pacitan ada berbagai macam diantaranya Kapak Perimbas yang mempunyai multi fungsi, selain alat untuk mencari ubi juga untuk berburu. Dalam kegiatan berburu, terutama mulai pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut manusia juga menciptakan ujung anak panah dari batu. Temuan-temuan lainnya diantaranya adalah Kapak Genggam, Kapak penetak, mata anak panah, serut, alat-alat dari tulang, dsb. Pernah ditemukan juga manik-manik sebagai sarana yang dipakai sebagai perhiasan dan juga biasanya dipakai sebagai bekal kubur. Manik-manik semacam ini mulai ada sejak masa bercocok tanam yang pada saat itu juga berkembang kebudayaan Megalithicum/batu-batu seperti dolmen, kubur batu, dan sebagainya.
Tidak hanya peralatan tetapi juga pernah ditemukan fosil manusia purba dari ras Austrialid yang hidup sekitar 12.000 tahun sebelum masehi. Ketika ditemukan, kerangka manusia purba berjenis kelamin perempuan itu dalam posisi terlipat menghadap dinding goa dan disangga beberapa batu. Ditangannya memegang peralatan dari batu. Satu lagi kerangka juga ditemukan tetapi rasnya berbeda, yaitu dari ras Mongoloid.
Situs-situs ditemukannya artefak-artefak tersebut diantaranya adalah situs Kali Bak Sooka, Song Keplek, Song Terus, situs Sungai Banjar, Sungai Karasan, Sungai Jatigunung (Tulakan), Kedung Gamping, Mantren, dsb.
Pacitan Jaman Ki Ageng Buwana Keling
Sejarah Pacitan umumnya ditulis berawal dari kedatangan Ki Buwana Keling, salah satu utusan Raja Brawijaya ke daerah di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah ini, pada abad ke XII M. Menurut silsilah, asal usul KI Ageng Buwana Keling adalah putra Pejajaran yang di kawinkan dengan salah satu putri Brawijaya V yang bernama putri Togati. setelah menjadi menantu Majapahit maka KI Ageng Buwana Keling mendapat hadiah tanah di pesisir selatan dan di haruskan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Pusat pemerintahan Negeri Buwana Keling terletak di ± 7 km dari ibukota Pacitan sekarang (Jati Kec. Kebonagung) yang disebut daerah wengker kidul atau daerah pesisir selatan. KI Ageng Buwana Keling berputra tunggal bernama Raden Purbengkoro yang setelah tua bernama KI Ageng Bana Keling.
Keberadaan Ki Ageng Buwana Keling ini dikuatkan dengan prasasti jawa kuno yang diduga dibuat pada abad XV yang menyebutkan bahwa Ki Ageng Buwono Keling merupakan penguasa di daerah wengker kidul.
PRASASTI JAWA KUNO
JA PURA PURAKSARA ERESTHA
BHUWANA KELING ABHIYANA
JUWANA SIDDHIM SAMAGANAYA
BHIJNA TABHA MINIGVAZAH
RATNA KARA PRAMANANTU
Artinya : dahulu ada seorang pendekar ternama bernama buwono keling yang telah mencapai kesempurnaan, dalam ilmu kebathinan dan kekebalan. Seorang guru diantara orang bijaksana dan beliau inilah yang menjadi perintis dan pemakrarsa daerah sekitarnya.
Versi lain menyatakan bahwa Ki Ageng Buwono Keling ini adalah saudara seperguruan Ki Tunggul Wulung, salah seorang kepercayaan Prabu Brawijaya V. Ceritanya dimulai pada saat menjelang kemunduran Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Prabu Brawijaya V yang menikah dengan puteri dari China. Dalam kepercayaan kala itu siapa saja wangsa Jawa yang menikahi puteri China dia akan mengalami kekalahan dalam segala hal. Prabu Brawijaya V menyadari hal tersebut, beliau kemudian menyiapkan seseorang untuk berjaga-jaga bila huru-hara benar-benar terjadi. Seseorang yang dipersiapkan tersebut ialah Ki Tunggul Wulung. Brawijaya V menyuruh Ki Tunggul Wulung untuk bersemedi di Gunung Lawu, selanjutnya ke Gunung Limo.
Di saat itulah Agama Islam masuk ke tanah Jawa lewat daerah pesisir utara Pulau Jawa, karena tidak ingin masuk Islam ketiga saudara Ki Tunggul Wulung yaitu Ki Brayut, Ki Buwono Keling dan Ki Tiyoso (mereka berempat bukan saudara kandung melainkan saudara satu perguruan) melarikan diri ke daerah selatan sesuai dengan petunjuk gurunya, “Berjalanlah selama 40 hari dan setelah mencapai tempat yang tinggi lihatlah kearah bawah bila kalian melihat tempat yang datar, tempat itulah yang dinamakan “Alas Wengker Kidul”. Seampainya di Wengker Kidul perjalanan mereka dibagi menjadi tiga yaitu, Ki Buwono Keling lewat sebelah utara, Ki Tiyoso lewat pesisir selatan dan Ki Brayut lewat tengah hutan.
Saat kemudain Majapahit benar-benar mengalami huru-hara besar dan Ki Tunggul Wulung turun gunung, ternyata beliau tidak bisa memadamkan huru-hara tersebut. Kemudian Ki tunggul Wulung memutuskan untuk mencari ketiga saudara seperguruannya dengan meminta petunjuk dari Sang Guru namun Sang Guru dalam keadaan kritis dan dalam hembusan nafas terakhirnya ia berpesan untuk menggali makam dengan tongkatnya.
Setelah peristiwa tersebut Ki Tunggul Wulung mencari ketiga saudaranya dan sampailah di tempat yang dinamakan Astono Genthong, dari situ ia melihat gunung yang berjajar empat (kelak terkenal dengan sebutan Gunung Limo, tetapi tidak terlihat sebagai lima gunung bila dilihat dari Astono Genthong ). Kemudian ia mempunyai firasat bila saudaranya berada di gugusan gunung tersebut, namun sesampainya di gunung tersebut ia tidak bertemu saudaranya.
Dikisahkan bahwa akhirnya Kyai Tunggul Wulung membuka lahan atau babad alas disekitar lereng gunung Limo. Salah satu dari gugusan gunung yang berjumlah lima merupakan tempat untuk bertapa atau bersemedi. Untuk mencapai lokasi pertapaan harus melewati banyak rintangan seperti tangga (ondo rante) selain itu kita harus menembus hutan lebat, tebing yang terjal serta Selo Matangkep.
Selo Matangkep adalah sebuah celah sempit diantara batu besar yang hanya cukup dilewati sebadan orang saja, dipintu masuk Selo Matangkep tersebut dipercaya apabila ada pengunjung yang berniat jahat maka ia tidak akan bisa melewatinya, sementara itu bagi yang berniat baik untuk berkunjung ke pertapaan kendati ia berbadan besar maupun kecil akan bisa melewatinya.
Berakhirnya Masa Ki Ageng Buwana Keling dan Masuknya Islam di Pacitan
Kegoncangan masyarakat Wengker Kidul dibawah pemerintahan Ki Ageng Buwana Keling di Pesisir selatan terjadi setelah datangnya Muballigh Islam dari kerajaan Demak Bintara, yang di pimpin oleh Ki Ageng Petung (R. Jaka Deleg /Kyai Geseng), KI Ageng Posong (R. Jaka Puring Mas/KI Ampok Boyo ) dan sahabat mereka Syekh Maulana Maghribi. Yang meminta KI Ageng Buwana Keling beserta semua rakyat di wengker selatan untuk mengikuti atau memeluk ajaran Islam.
Namun setelah KI Ageng Buwana Keling menolak dengan keras dan tetap tidak menganut agama baru yaitu agama Islam, maka tanpa dapat dikendalikan lagi terjadilah peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan antara penganut agama Hindu yang dipimpin oleh Ki Ageng Buwana Keling dengan penganut agama Islam yang dipimpin oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi memakan waktu yang cukup lama , karena kedua belah pihak, memang terdiri dari orang-orang sakti. Namun akhirnya dengan keuletan dan kepandaian serta kesaktian para muballigh tersebut peperangan itu dapat dimenangkan Ki Ageng Petung dan pengikut-pengikutnya setelah dibantu oleh prajurit dari Adipati Ponorogo yang pada waktu itu bernama Raden Betoro Katong (Putra Brawijaya V). Dalam legenda sering disebutkan bahwa Ki Ageng Buwana Keling ini adalah seorang yang sakti mandraguna. Beliau tidak bisa mati messki dibunuh berkali-kali berkat ajian yang beliau miliki yakni “Pancasona”. Akhirnya ditemukan juga kelemahan beliau. Ki Ageng Buwono Keling dibunuh kemudian dipotong menjadi tiga bagain kemudian jenazahnya dimakamkan di tiga lokasi yang berbeda dimana masing-masing dipisahkan oleh sungai.
Berdirinya Pondok Pesantren Tremas
Sejak terbunuhnya Ki Ageng Buwono Keling itulah maka daerah Wengker Kidul dapat dikuasai oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi, sehingga dengan mudah dapat menyiarkan agama Islam secara menyeluruh kepada rakyat sampai dengan wafatnya, dan kemudian dimakamkan di daerah Pacitan.
Selanjutnya dari tahun ke tahun sampai Bupati Jagakarya I berkuasa ( tahun 1826 ), perkembangan agama Islam di Pacitan semakin maju dengan pesatnya, bahkan tiga tahun kemudian putra dari Demang Semanten yang bernama Bagus Darso (kelak berganti nama menjadi KH. Abdul Manan) kembali dari perantauannya mencari dan mendalami ilmu agama Islam di pondok pesantren Tegalsari Ponorogo di bawah asuhan Kyai Hasan Besari.
Sekembalinya beliau dari pondok tersebut di bawah bimbingan ayahnya R. Ngabehi Dipomenggolo mulai mendirikan pondok di desa Semanten ( 2 Km arah utara kota Pacitan ). Setelah kurang lebih satu tahun kemudian pindah ke daerah Tremas, Arjosari yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren Tremas sekarang ini.
Asal mula Nama pacitan
Terdapat minimal dua versi mengenai asal usul nama Pacitan. Versi pertama, Pacitan berasal dari kata “Pace Sak Pengetan” yang diberikan oleh Pangeran Mangkubumi saat menyingkir ke daerah Wengker Kidul karena terdesak musuh. Saat itu sedang terjadi perang gerilya 1747-1749 (Perang Palihan Nagari (1746-1755) )melawan VOC Belanda, Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan, beliau disertai 12 orang pengikutnya mundur keselatan sambil mencari dukungan untuk membantu perjuangan. Tanggal 25 Desember 1749 rombongan tersebut lemah lunglai, dan atas bantuan setroketipo beliau diberi sebuah minuman yaitu buah pace yang telah direndam dengan legen buah kelapa, dan seketika itu juga kekuatan Pangeran Mangkubumi pulih kembali. Daerah itu diingat dengan pace sapengetan dan dalam pembicaraan keseharian sering disingkat dengan pace-tan lalu menjadilah sebuah nama kabupaten Pacitan (Drs. Ronggosaputro;1980)
Setelah Pangeran Mangkubumi menjadi Hamenku Buwono I beliau memenuhi janjinya kepada para pengikutnya yang ketika itu ikut bergerilya. Setroketipo diangkat menjadi Bupati Pacitan ke-2 setelah sebelumnya dijabat oleh Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo. Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo sebelumnya diangkat juga oleh Pangeran Mangkubumi pada tanggal 17 Januari 1750 setelah beliau banyak membantu Pangeran Mangkubumi ketika bergerilya didaerah pacitan. Ketika itu Ngabehi Suromarto menjabat demang Nanggungan dan ketika diangkat bupati bergelar Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo.
Versi yang lain mengatakan bahwa Pacitan berasal dari kata pacitan yg berarti makanan kecil, camilan, snack yang tidak mengenyangkan. Ada yang mengkaitkan ini dengan kondisi Pacitan saat itu sebagai daerah minus sehingga sumber daya alam yang ada tidak mencukupi atau tidak mengenyangkan warga yang tinggal di tempat tersebut.
Ada fakta yang menarik bahwa nama Pacitan ternyata telah muncul jauh sebelum terjadi perang gerilya Pangeran Mangkubumi. Nama Pacitan telah disebut-sebut dalam Babad Momana yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645).
Nama-nama Pejabat Bupati Pacitan
1745-1750 : R.T.Notopoero (Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo).
1750-1757 : R.T.Notopoero (Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo).
1757- : R.T.Soerjonegoro I
1757-1812 : R.T.Setrowidjojo I (Setroketipo)
1812- : R.T.Setrowidjojo II ((3 bulan) R.M Lantjoer)
1812-1826 : M.T.Djogokarjo I (Jayaniman)
1826- : M.T.Djogonegoro (Mas Sumadiwiryo)
1826-1850 : M.T.Djogokarjo II (Mas Karyodipuro)
1850-1864 : R.T. Djogokarjo III (Mas Purbohadikaryo)
1866-1879 : R.Adipati Martohadinegoro (Raden Mas Cokrodipuro)
1879-1906 : R.T Martohadiwinoto (Mas Ngabehi Martohadiwinata)
1906-1933 : R.Adipati Harjo Tjokronegoro I (R.T. Cokrohadijoyo)
1933-1937 : kosong (pemerintahan sehari-hari oleh Patih Raden Prawirohadiwiryo)
1937-1942 : R.T.Soerjo Hadijokro (bupati terakhir masa pemerintahan Belanda)
1943- : Soekardiman
1944-1945 : MR.Soesanto Tirtoprodjo
1945-1946 : R.Soewondo
1946-1948 : Hoetomo
1948-1950 : Soebekti Poesponoto
1950-1956 : R.Anggris Joedoediprodjo
1956-1960 : R. Soekijoen Sastro Hadisewojo(bupati)
1957-1958 : R.Broto Miseno (Kepala Daerah Swantara II)
1958-1960 : Ali Moertadlo (Kepala Daerah)
1960-1964 : R.Katamsi Pringgodigdo
1964-1969 : Tedjosumarta
1969-1980 : R.Moch Koesnan
1980-1985 : Imam Hanafi
1985-1990 : H.Mochtar Abdul Kadir
1990-1995 : H. Soedjito
1995-2000 : Sutjipto. Hs
2000-2005 : H. Soetrisno
2005-2010: H. Sujono (meninggal sebelum selesai masa jabatan digantikan wakilnya: H.G. Soedibjo yang memerintah 34 hari)
2011- sekarang: Drs. H. Indartato, MM
Letak geografis..
Kabupaten Pacitan terletak di Pantai Selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta merupakan pintu gerbang bagian barat dari Jawa Timur dengan kondisi fisik pegunungan kapur selatan yang membujur dari gunung kidul ke Kabupaten Trenggalek menghadap ke Samudera Indonesia.
Kabupaten Pacitan mempunyai luas wilayah 1.389,87 Km2 atau 138.987,16 Ha yang kondisi alamnya sebagian besar terdiri dari bukit-bukit yang mengelilingi kabupaten. Sedangkan wilayah kota Pacitan yang merupakan inti atau pusat pemerintahan berupa dataran rendah. Selebihnya berupa daerah pantai yang memanjang dari sebelah barat sampai timur di bagian selatan.
Pacitan adalah kecamatan yang menjadi ibukota Kabupaten Pacitan, provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota Pacitan adalah denyut nadi pemerintahan dan perekonomian kabupaten pacitan secara keseluruhan. Lansekap kota Pacitan terletak di lembah, di tepi Teluk Pacitan dan dialiri sungai Grindulu yang membentang dari wilayah selatan menuju pantai Teleng Ria.
Kabupaten Pacitan merupakan salah satu dari 38 Kabupaten di Propinsi Jawa Timur yang terletak di bagian Selatan barat daya. Kabupaten Pacitan terletak di antara 1100 55′ – 1110 25′ Bujur timur dan 70 55′ – 80 17′ Lintang Selatan.
Dari aspek topografi menunjukkan bentang daratannya bervariasi dengan kemiringan sebagai berikut:
0-2 % meliputi ± 4,36 dari luas wilayah merupakan tepi pantai.
2-15 % meliputi ± 6,60 % dari luas wilayah baik untuk pertanian dan memperhatikan usaha pengawetan tanah dan air.
15-40 % meliputi ± 25,87 dari luas wilayah sebaiknya untuk usaha tanaman tahunan.
40 % keatas meliputi ± 63,17 % dari luas wilayah merupakan daerah yang harus difungsikan sebagai daerah penyangga tanah dan air serta menjaga keseimbangan ekosistem di Kabupaten Pacitan.
Batas-batas Administrasi :
- sebelah Timur : Kabupaten Trenggalek
- sebelah Selatan : Samudera Indonesia
- sebelah Barat : Kabupaten Wonogiri ( Jawa Tengah )
- sebelah Utara : Kabupaten Ponorogo
Bila ditinjau dari struktur dan jenis tanah terdiri dari Assosiasi Litosol Mediteran Merah, Aluvial kelabu endapan liat, Litosol campuran Tuf dengan Vulkan serta komplek Litosol Kemerahan yang ternyata di dalamnya banyak mengandung potensi bahan galian mineral. Pacitan disamping merupakan daerah pegunungan yang terletak pada ujung timur Pegunungan Seribu, juga berada pada bagian selatan Pulau Jawa dengan rentangan sekitar 80 km dan lebar 25 km. Tanah Pegunungan Seribu memiliki ciri khas yang tanahnya didominasi oleh endapan gamping bercampur koral dari kala Milosen (dimulai sekitar 21.000.000 – 10.000.000 tahun silam). Endapan itu kemudian mengalami pengangkatan pada kala Holosen, yaitu lapisan geologi yang paling muda dan paling singkat (sekitar 500.000 tahun silam – sekarang). Gejala-gejala kehidupan manusia muncul di permukaan bumi pada kala Plestosen, yaitu sekitar 1.000.000 tahun Sebelum Masehi.
Endapan-endapan itu kemudian tererosi oleh sungai maupun perembesan – perembesan air hingga membentuk suatu pemandangan KARST yang meliputi ribuan bukit kecil. Ciri-ciri pegunungan karst ialah berupa bukit-bukit berbentuk kerucut atau setengah bulatan.
Bersamaan dengan kala geologis tersebut, yakni pada zaman kwarter awal telah muncul di muka bumi ini jenis manusia pertama : Homo Sapiens, yang karena kelebihannya dalam menggunakan otak atau akal, secara berangsur-angsur kemudian menguasai alam sebagaimana tampak dari tahap-tahap perkembangan sosial dan kebudayaan yaitu dari hidup mengembara (nomaden) sebagai pengumpul makanan, menjadi setengah pengembara/menetap dengan kehidupan berburu, kemudian menetap dengan kehidupan penghasil makanan. Adapun tingkat kebudayaannya yaitu dari zaman batu tua (Palaeolithicum), zaman batu madia (Messolithicum), dan zaman batu muda (Neolithicum).
Obyek Pariwisata Kota Pacitan
Gua Gong
Goa Gong. Merupakan Goa yang mendapat predikat Goa terindah se – Asia Tenggara. Terletak di desa Bomo, Kecamatan Punung ini menawarkan sejuta pesona keindahan stalaktit dan stalakmitnya. Kalau mau melihat salah satu lokasi keajaiban bawah tanah, selayaknya kita melawat ke daerah Pacitan. Sebab di antara bukit-bukit gersangnya, ternyata tersimpan gua-gua eksotisme bawah tanah batuan gamping. Yang hanya akan meninggalkan jejak keindahan bagi mata yang pernah memandangnya. Deretan bukit batuan gamping menghiasi sepanjang kiri-kanan jalan. Jalan yang berkelok indah di sisi pinggir bukit membuat lintasan paralel menyusur di antara kehijauan pohon jati. Angin segar menerpa, di atas aspal baru. Mengantarkan kaki menuju parkiran wisata gua Gong, di Kabupaten Punung, Pacitan Jawa Timur.
Di sepanjang perjalanan menuju mulut gua, deretan kios pedagang makanan masih tertutup rapat. Mungkin karena saya datang bukan saat akhir minggu, jadi deretan kios ini terlihat menutup diri saja. Lagipula, memang tak banyak pengunjung yang datang saat itu. Hanya terlihat sekelompok pria dewasa, yang sepertinya hanya ingin melewati rasa penasarannya saja untuk melihat isi perut bumi di daerah desa Bomo ini.
Memasuki lorong pertama di gua ini, sudah terasa keindahan mulai memijar. Deretan straw (ornamen berbentuk seperti sedotan) berebut memenuhi langit-langit gua. Sebuah ungkapan selamat datang yang mahaindah bagi yang mengerti. Karena deretan straw tersebut bisa berarti sinyal pemberitahuan, mengenai lebatnya ornamen lain di dalamnya.
Benar saja, setelah melewati lorong straw, langsung mata ini disergap oleh puluhan bahkan ratusan ornamen gua yang berbeda tiap bentuknya. Teramat banyak saya kira, lebih banyak dari sekumpulan ornamen gua yang pernah saya lihat di gua-gua lainnya di tanah Jawa ini. Semua penuh memadati lorong menurun gua, menghiasi tiap meter sisi tangga. Menjadi hiasan yang tak terukur nilainya, karena tiap ornamen bisa jadi berumur ratusan tahun lamanya.
Saking banyaknya ornamen yang ada di dalam gua tersebut, sampai sulit rasanya menyebutkan satu per satu di sini. Yang paling saya ingat mungkin sekumpulan gourdyn raksasa, yang dipenuhi bintik mutiara di dalamnya. Titik-titik kecil tersebut seperti ribuan kunang-kunang saja layaknya. Suasana gua yang temaram makin menambah eksotis ribuan titik mutiara itu. Memenuhi tiap jengkal mata memandang, dan bila memejamkan mata, rasanya masih tertinggal ribuan titik mutiara tersebut memenuhi benak kepala.
Perjalanan masih terus memasuki lorong-lorong. Menembus di antara stalagmit dan stalagtit. Membentuk tiang-tiang tinggi penyangga lorong, mengukuhkan keberadaan mereka di sana. Diselang-selingi dengan tirai tipis batuan, menimbulkan kekaguman saat mencoba mengetuknya. Terdengar suara berdengung, yang menggema di seantero lorong. Rupanya inilah sebab mengapa gua ini disebut Gong. Karena tiap kita memukul bagian ornamen di dalamnya, akan terdengar suara berdegung, mirip suara yang dihasilkan gong gamelan kesenian khas Jawa.
Hingga akhirnya saya keluar dari lorong-lorong berhawa panas tersebut, masih terasa sentuhan pada mata dan kuping ini. Menembus liang pemikiran dan berbayang terus, bahkan sampai es degan (kelapa) melewati kerongkongan. Baru tersadar bahwa keindahan gua tersebut benar-benar sebuah anugerah dari kuasa, yang diberikan untuk mempercantik kawasan keras gamping tersebut.
Nasi Tiwul
Sambel trasi dengan lalapan daun kemangi, kemudian dicampur dengan lauk lele goreng, dengan satu porsi nasi tiwul. Nasi yang sudah jarang sekali dinikmati oleh masyarakat Pacitan ini adalah merupakan maskan khas daerah pacitan sejak dulu. Nasi Tiwul adalah hasil olahan dari tepung ubi kayu (cassava) melalui proses tradisional, yaitu tepung cassava ditambahkan air hingga basah dan dibentuk butiran-butiran yang seragam dengan ukuran sebesar biji kacang hijau dan dikukus selama 20-30 menit.
Tiwul adalah makanan pokok sebagai pengganti beras yang berasal dari singkong. Disaat musim kemarau, berbondong-bondong petani menanam singkong, hal ini dikarenakan tanah mereka sulit untuk mendapatkan air disaat musim tersebut. Daripada tanah dibiarkan kosong mlompong, lebih bermanfaat ketika mereka menanaminya dengan ketela. Setelah ketela dipanen, umur sekitar 60 sampai 90 hari, kulit ketela dikupas. setelah itu dikeringkan. Jadilah gaplek yang bisa disimpan sampai berbulan bulan. Para petani tidak akan khawatir jika kemarau panjang melanda selama mereka masih meyimpan gaplek dirumahnya. dari gaplek itulah dijadikan tiwul. Memang kandungan kalori tiwul masih tidak bisa menandingi beras, namun cukup memenuhi sebagai bahan makanan pengganti beras. Konon nasi tiwul bisa mencegah penyakit maag, perut keroncongan dan lain sbg-nya. Cita rasa gaplek sangat khas dan unik.
Pemandian Air Panas Tirta Husada
Alami, Indah, Mempesona. Itulah kata – kata yang dapat mengungkapkan keindahan pesona wisata di Kabupaten Pacitan, terutama keindahan wisata alamnya. Dari ujung perbatasan di Ponorogo, kita akan mulai melihat keindahan pemandangan alam itu dari sungai Grindulu yang membentang dari Kecamatan Tegalombo sampai ke pacitan. Kemudian berlanjut ke Kecamatan Arjosari, kita akan melihat dan merasakan dahsyatnya Pemandian air panas yang mampu menyembuhkan penyakit kulit ini. Pemandian Air Panas Tirta Husada ini merupakan salah satu objek wisata alam sekaligus berfungsi untuk terapi penyembuhan berbagai penyakit kulit. Objek wisata ini terletak di Kecamatan Arjosari, di dekat Pondok Pesantren Tremas.
Pantai Teleng Ria Pacitan
Kemudian berlanjut dan bertutut – turut, kita akan melihat pemandangan luar biaa dari Pantai – Pantai yang ada di Pacitan. Mulai dari Pantai Teleng Ria Pacitan, yang merupakan Pantai sekaligus pusat perekonomian warga sekitar Teleng Ria yang memanfaatkannya untuk menggali Potensi Lautnya. Selain itu Pantai Teleng Ria juga dijadikan tempat untuk arena olahraga (Surfing, Balap Motor)
Pantai Srau
Kemudian adalah Pantai Srau, yang berada di Desa Srau Kec.Pringkuku Kab.Pacitan. Perjalanan ke pantai ini ditempuh sekitar satu jam melalui sebuah jalan yang berliku masuk ke hutan jati dan rumah pedesaan. Pantai ini terkenal dengan keindahan Batu Karangnya yang mempesona.
Pantai Watu Karung
Pantai selanjutnya adalah Pantai Watu Karung. Pantai yang terletak di desa Watukarung, Kecamatan Pringkuku ini adalah pusatnya para nelayan mencari ikan. Nelayan – nelayan dengan perahu tradisional banyak ditemui disini. Begitu air surut, kita bisa berjalan ketengah lautan sampai pinggir palung lho. kira-kira 50 meter-an dari garis pantai normal, namun kita juga perlu waspada adanya tidal wave (atau ombak kejut) lewat. Masih banyak pantai – pantai yang lain, seperti Pantai Klayar yang menawarkan keindahan batu karangnya,Pantai Buyutan, Kali Uluh, dan sederet nama – nama objek wisata lainnya yang mempesona. Selamat datang di Pacitan, Kota Pariwisata.
Monumen Jenderal Sudirman. Terletak di desa Pakisbaru, Kecamatan Nawangan ini adalah wisata sejarah sebagai simbol perang Gerilya oleh Jenderal Sudirman. Monumen ini pada Tahun 2009 telah diresmikan oleh Presiden SBY.
Sungai Grindulu. Sungai terpanjang di Kabupaten pacitan yang berasal dari Gunung Wilis ini adalah sungai yang membentang dari Desa Gemaharjo, Desa Krajan, Desa Ngreco, desa Gedangan, Desa Kebondalem (Kecamatan Tegalombo), Desa Mangunharjo di Arjosari, dan beberapa Desa di Kecamatan Pacitan.
Kerajinan Batu Akik
Kerajinan Batu Akik. Batu akik dibuat dari bahan baku seperti Jasper, Fosil Kayu, Kalsedon, dan Pasir Kwarsa, yang banyak dijumpai di sekitar sentra industri kecil batu akik di beberapa desa Kecamatan Donorojo




Tidak ada komentar:

Posting Komentar