Sabtu, 06 Desember 2014

KISAH MBAH SURO NGINGGIL




TOKOH "Mbah Suro" dari desa Nginggil yang gersang kini mulai terlupakan. Tapi sebelum peristiwa Sawito, agaknya peristiwa di tepi Bengawan Sala beberapa tahun yang lalu itu merupakan contoh lain, yang berbeda, tentang bagaimana sejumlah orang ingin berlindung dan bertahan dalam suatu masa yang mencemaskan. Waktu itu adaah waktu kejatuhan Bung Karno, waktu peralihan yang penuh gejolak ke "masa baru". Mulyono, bekas lurah Nginggil yang berumur kira-kira 46 tahun, sudah dikenal dengan sebutan "Mbah Suro". Ia bertindak sebagai dukun. Banyak orang mempercayai kesaktiannya, termasuk orang yang berkedudukan di kota-kota. Tak heran bila banyak orang datang. Dan desa Nginggil pun berubah wajah, bak daerah yang banyak dikunjungi turis. Lampu-lampu neon dipasang di sana. "Sehingga kalau malam hari kita ke Nginggil", begitu tulis wartawan Ramelan dalam bukunya Mbah Suro Nginggil (1967), "kita akan menikmati sinar-sinar lampu neon di tengah-tengah lingkungan hutan belantara yang gelap seram itu". Bahkan direncanakan jalanan akan diaspal oleh Mbah Suro. Aspal sudah tersedia. Tapi kemudian LANJUTKAN BACA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar