Jumat, 18 September 2015

Sejarah Peristiwa Tragedi Nasional

Gerbnang Cerita - Perjalanan sejarah bangsa Indonesia  tidak terlepas  dari ancaman dan gangguan. Sebagai  contoh terjadinya tragedi  nasional, yaitu  pemberontakkan PKI  tahun 1948 di Madiun, peberontakkan  DI/ TII, dan pemberontakkan  G. 30 S / PKI.






Setelah Dekret Presiden dan diberlakukannya  demokrasi terpimpin, PKI makin memperkuat diri.Dengan segala  cra PKI melakukan tindakan –tindakan yang menguntungkan PKI dan kader-kadernya.Semua tindakan  itu dilakukan untuk dapat meraih kekuasaan di bawah komando  PKI  dengan munculnya Gerakan 30 September  (G.30 S/PKI). G.30 S/PKI  adalah tragedi  nasional yang merupakan lembaran  hitam dalam sejarah  nasional Indonesia. Bagaimana peristiwa itu terjadi ? Apa saja  peristiwa tragedi  nasional di Indonesia.

Pemberontakan PKI Tahun 1948 di Madiun

Tahun 1948  telah terjadi tragedi  nasional, yaitu pemberontakan PKI. Pemberontakan PKI  di pusatkan   di Madiun. Bagaimana Kronologi dan akibat-akibat  yang ditimbulkan  dari peristiwa  tersebut. Untuk  menjawab pertanyaan  ini pderlu dipelajari  uraian sebagaberikut.

  • Fase Awal  Pemberontakan PKI   Madiun

Pada saat bangsa Indonesia  sedang berjuang menghadapi Belanda, pada tahun 1948 PKI, melancarkan pemberontakan  di Madiun. Pembderontakan tersebut dipimpin oleh  Amir Syarifuddin dan Musso. Amir Syarifuddin adalah mantan Perdana Menteri  yang menanda tangani  Perundingan Renville. Hasil Perundingan Renville  sangat merugikan  bangsa Indonesia, karena  wilayah yang dimiliki  semakin sempit. Karena di anggap telah  merugikan bangsa, Kabinet Amir Syarifuddin  jatuh. Hal itu membuat Amir Syarifuddin  kecdewa. Amir Syarifuddin  makin kecewa karena Kaninet Hatta yang telah terbentuk  tidak mengikutsertakan  golongan kiri atau komunis. Selanjutnya, Amirv Syarifuddin  berbalik menjadi pemimpin oposisi  terhadap Kabinet Hatta. Ia  kemudian  membentuk  Front Demokrasi   Rakyat ( FDR ) pada tanggal 28 Juni 1948.
Program Front Demokrasi Rakyat ( FDR ), antara lain :
  1. Menuntut dibubarkannya Kabinet Hatta
  2. Membentuk  kabinet baru yang mengikutsertakan  kekuatan PDR  dan PKI
Sementara itu, pada tanggal 11 Agustus 1948, Musso yang merupakan  pimpinan PKI  pada tahun 1920-an, kembali dari Uni Soviet. Semenjak kedatangan  Musso bdersatulah  kekuatan PKI dan FDR di bawah pimpinan  Musso dan Amir Syarifuddin . Melalui pemikiran yang dibawa  oleh Musso, PKI mulai  berencana  melakukan pemberontakan.

  • Puncak  Pemberontakan PKI   Madiun

Gerakan  PKI ini mencapai puncaknya pada tanggal 18 September  1948. PKI di bawah  Musso dan Amir Syarifuddin  melancarkan pemberontakan yang dipusatkan  di Madiun dan  sekitarnya. Banyak pejabat  pemerintah, tokoh –tokoh organisasi  non komunis, dan para pimpinan pondok pesantren  diculik dan dibunuh  secara sadis. Musso  dan Amir Syarifuddin  kemudian memproklamasikan  berdirinya negara  Republik Soviet n Indonesia. Susunan  pemerintahan negara  Republik Soviet  Indonesia adalah sebagai berikut :
  1. Kepala Negara                      :   Musso
  2. Kepala pemerintahan            :   Amir Syarifuddin
  3. Panglima angkatan perang    :  Kol. Joko Suyono.
  • Akhir  Pemberontakan PKI   Madiun

Bagaimana usaha  pemerintah dalam   menghadapi pemberontakan  PKI tersebut. Presiden  Soekarno dan Perdana Menteri  Moh. Hatta mengutuk keras  tindakan PKI. Pemerintah  segera melancarkan operasi penumpasan. Untuk itu, dibentuklah  Gerakan Operasi  Militer ( GOM ). Panglima  Jenderal Sudirman kemudian mengeluarkan perintah  harian  yang isinya antara lain  menunjuk Kolonel  Gatot Subroto  sebagai Gubernur  Militer  Jawa Tengah dan Kolonel  Sungkono sebagai Gubernur  Militer Jawa Timur. Kedua tokoh  militer itu  diperintahkan untuk memimpin  dan menggerakkan  pasukan guna menumpas pemberontakan  PKI di Madiun  dan sekitarnya. Dari arah Jawa  Tengah, telah  digerakkan beberapa pasukan antara lain pasukan Siliwangi. Dari arah Timur, telah bergerak  pasukan dari  Divisi  Jawa Timur dan  brigade mobil. Dengan  operasi  militer pada  tanggal 30 September  1948, keadaan Madiun  segera dapat  dikendalikan oleh  pemerintah Indonesia. Dalam operasi  tersebut, Musso dapat ditembak mati di daerah  Ponorogo dan Amir Syarifuddin  ditangkap  di daerah Purwadadi.

Pemberontakan DI / TII

Pemberontakan DI / TII terjadi di Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Bagaimana  pekembangan gerakan dan pemberontakan DI / TII pelajari uraian  berikut.
  • Pemberontakan DI / TII di Jawa Barat

Gerakan  DI / TII  di Jawa Barat dipimpin oleh  Sekarmaji Marijan  Kartosuwiryo. Munculnya gerakan  DI / TII  di Jawa Barat  dipicu oleh  penandatanganan  Perundingan Renville. Sesuai isi Perundingan  Renville pemerintah Indonesia  memerintahkan rakyat  dan TNI untuk  hijrah  meninggalkan daerah-daerah kantong  di Jawa Barat dan masuk  ke wilayah  RI di Yogyakarta. Namun  Kartosuwiryo  menentang perintah tersebut  dan tetap bertahan  di Jawa  Barat. Kartosuwiryo  kemudian membentuk  gerakan Darul Islam   ( DI ) dengan didukung Tentara Islam Indonesia ( TII ),selanjutnya  gerakan itu di sebut  dengan DI / TII . DI/ TII bertujuan  untuk mendirikan negara  yang berdasarkan  agama Islam dan  lepas dari NKRI.

Pada tanggal 7 Agustus  1949, Kartosuwiryo  memproklamasikan berdirinya  Negara Islam Indonesia  ( NII ). Pertempuran  pertama  antara TNI dan  DI / TII  Jawa barat  terjadi pada tanggal  25 Januari  1949 di  Desa  Antralina, Malangbong. Tepatnya ketika  pasukan Divisi  Siliwangi  diperintahkan  Panglima Besar  Jenderal Sudirman  melakukan long  march  dari Jawa  Tengah   ke Jawa Barat.

Operasi  militer untuk menumpas  DI / TII  dimulai pada tanggal  27 Agustus 1949. Dalam operasi melawan  DI / TII , TNI menggunakan  Operasi Pagar Betis  dan Operasi  Baratyahuda. Upaya menumpas  Pemberontakan  DI/ TII  Jawa Barat memakan  waktu lama. Baru  pada  tanggal 4  Juni   1962, Kartosuwiryo berhasil ditangkap  di hutan Gunug Geber, Majalaya, Tasikmalaya. Dengan tertangkapnya  Kartosuwiryo maka DI / TII  di Jawa Barat  berhasil di hancurkan.
  • Gerakan DI / TII di Aceh

Setelah Indonesia kembali  dalam bentuk negara kesatuan, pemerintah melakukan penyederhanaan  administrasi pemerintahan. Hal itu berakibat  beberapa daerah  mengalami penurunan  status. Salah satu daerah yang mengalami penurunan  adalah Aceh. Semula Aceh  merupakan daerah istimewa, tetapi kemudian  turun menjadi  kerisidenan  yang berada dibawah Provinsi  Sumatera Utara.

Perubahan status Aceh telah mengecewakan beberapa pihak, terutama  Daud Beureueh. Ia adalah  seorang tokoh  Aceh yang saat  itu menjabat  sebagai Gubernur  Militer Daerah  Istimewa Aceh. Ia  menolak  keputudsan pemerintah pusat tersebuyt.Pada tanggal 21 September  1953, Daud Beureueh  mengeluarkan maklumat  yang isinya  berupa  pernyataan  bahwa Aceh  merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia  (NII )di bawah pimpinan  Kartosuwiryo.

Daud Beureueh  dengan pasukannya yang  disebut Tentara Islam Indonesia  ( TII ) segera  melakukan gerakan. Beberapa  kota  berhasil dipengaruhi  dan berada di bawah  kendalinya. Pemerintah kemudian  mengirim pasukan untuk  menghadapi gerombolan  DI / TII  Aceh tersebut. Setelah  beberapa tahun di kepung, akhirnya pada tanggal 21  Desember 1962 tercapailah Musyawarah  Kerukunan Rakyat Aceh yang  diprakarsai  oleh Panglima Kodam  I Iskandar  Muda, Kolonel  M. Yasin. Banyak para  pengikut gerombolan  itu yang kemudian  kembali  ke pangkuan Republik Indonesia ( RI ).
  • DI / TII di Jawa  Tengah

Di daerah Tegal dan Brebes  timbul Gerakan  Majelis Islam  yang dipimpin oleh  Amir Fatah. Selain itu, di Kebumen muncul gerakan  Angkatan Umat Islam  yang dipimpin oleh  Mahfudh Abdul Rakhaman ( Kyai  Sumolangu ). Gerakan-gerakan  itu hendak  bergabung dengan gerakan  DI/ TII pimpinan Kartoasuwiryo . Gerakan DI/ TII  di Jawa Tengah  itu juga  mendapat bantuan  dari batalyon  426, yang  memberontak terhadap   pemerintah.

Pemerintak membentuk  pasukan  Banteng Raiders  untuk mengatasi pemberontakan  DI/ TII. Pasukan  Banteng Raiders  kemudian mengadakan  operasi ketat yang  dinamakan  Gerakan banteng Nasional   ( GBN ) dan Operasi Guntur, untuk menumpas DI/TII Jawa Tengah. Pada  tahun 1954 gerombolan DI / TII  Jawa  Tengah  dapat ditumpas.
  • DI / TII di Sulawesi Selatan

Gerakan DI/TII  Sulawesi Selatan dipimpin oleh  Kahar Muzakkar. Sebab utama pemberontakan  Kahar Muzakkar  berkaitan dengan  rasionalisasi n dan restrukturisasi  TNI. Pada  tangal  30 April 1950,  Kahar Muzakkar menuntut anggota  Komando Gerilya  Sulawesi Selatan ( KGSS )  yang merupakan pasukannya  di masukkan ke dalam  APRIS dengan nama Brigade  Hasanuddin. Akan tetapi, pemerintah  menolak tuntutan Kahar Muzakkar  tersebut.  Di Kalimantan meredam  suasana, pemdrintah  berencana menaikkan  pangkat Kahar Muzakkar  menjadi Letnan Kolonel. Sementara itu, anggota KGSS  yang memenuhi syarat  masuk APRIS  telah diberi perlengkapan  militer dan bagi  yang tidak memenuhi  syarat dimasukkan  dalam Korps  Cadangan  Nasional.

Pada saat akan dilantik, Kahar Muzakkar  bersama anggotanya  melarikan diri  ke hutan. Ia  bersama pasukanya  bergerilya  ke hutan sambil  membawa perlengkapan  militer yang  terlanjur diberikan   pemerintah pada  bulan Agustus tahun 1951. Kahar  Muzakkar mengumumkan  perlawanannya  kepada pemerintah  secara terang-terangan . Pada tahun  1952, Kahar Muzakkar  menyatakan bahwa wilayah Sulawesi Selatan  merupakan bagian  dari Negara Islam Indonesia  ( NII )  pimpinan Kartosuwiryo. Untuk  mengatasi  Pemberontakan Kahar Muzakkar   tertembak mati  pada  tahun 1965.
  • DI / TII di Kalimantan Selatan

Gerakan  DI / TII juga  terjadi di Kalimantan  Selatan. Gerakan DI / TII  Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar, seorang bekas  anggota TNI. Ibnu Hajar  menamakan gerakannya  dengan sebutan  Kesatuan Rakyat  Yang Tertindas ( KRYT ) . Menurut  pendapat Ibnu  Hajar, pemrintah  RI dibawah pimpinan  Presiden Soekarno   adalah penindas  baru yang tidak  menghiraukan aspirasi umat  muslim di Indonesia. Oleh karena itu, umat Islam harus  bersatu melawan  Pemerintahan Presiden  oekarno dan  mendirikan Negara Islam  Indonesia. Gerakan ini menyatakan diri  sebagai bagian  dari Negara Islam Indonesia  dengan pimpinan Kartosuwiryo.

DI / TII  di Kalimantan Selatan itu juga melakukan  perlawanan terhadap  kekuatan TNI  dan pengacauan  pada masyarakat. Oleh karena  itu pasukan pemerintah  tidak segan-segan  mengambil tindakan . Pemerintah segera  melakukan operasi militer. Pada  akhir tahun 1959, Ibnu Hajar  berhasil ditangkap. Ia  di ajukan di muka  sidang Mahkamah  Militer Luar Biasa  di Markas Besar  Angkatan Darat Jakarta. Pada  tanggal 22  Maret 1965, ia di jatuhi  hukuman mati.

Gerakan 30 September 1965 dan Hubungan dengan PKI

Semenjak diberlakukannnya  demokrasi terpimpin, kedudukan PKI makin hari hari makin kuat. Berbagai  program  dan tindakan  yang diam bil  oleh pemerintah  hampir semua  memberi peluang bagi PKI untuk memperkuat  kader-kadernya. Kekuatan PKI itu  mencapai puncaknya  pada tahun 1965, saat terjadi  Gerakan 30 September  1965 ( G. 30. S ).

G.30.S/PKI adalah gerakan pengkhianatan yang dilakukan  oleh PKI  untuk merebut  kekuasaan  dan mengganti  dasar negara  Pancasila dengan ideologi komunis. Untuk mencapai  tujuannya tersebut. PKI tidak segan-segan  menghalalkan  segala  cara  seperti  menculik dan membunuh para perwira tinggi  AD.
  • Prolog dan  Persiapan G30SPKI

PKI di bawah pimpinan D.N Aidit, telah melakukan  gerakan-gerakan untuk memperkuat diri. Untuk  itu, PKI telah mengambil  beberapa  tindakan atau kegiatan.
  1. PKI mendukung dan mengirim  sukarelawan saat berkonfrontasi dengan Malaysia.
  2. PKI telah   melakukan aksi  sepihak dengan  membagi-bagikan tanah  kepada petani.
  3. Merekrut kekuatan ABRI dengan  menanamkan ideologi  komunis dikalangan  anggota     ABRI.
  4. Terus berusaha memojokkan  dan menghancurkan  lawan-lawan  polotiknya. Oleh karena  itu, PKI mendorong dan sangat mendukung  pembubaran  Masyumi, PSI, dan Murba.
  5. Mengusulkan untuk membentuk Angkatan ke – 5, yakni dengan mempersenjatai kaum buruh tani.
  6. Melatih sekitar 3.000 anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani. Latihan  dipusatkan di Lubang Buaya.
  7. Menyebarkan isu  adanya Dewan  Jenderal yang  akan melakukan kudeta, PKI menyebabkan  fitnah dan isu  bahwa Dewan  Jenderal akan  melancarkan kudeta  kepada pemerintah. Pihak TNI- AD, menolak tuduhan  PKI. Di katakan  oleh TNI-AD  bahwa yang  ada adalah  Dewan Jabatan  dan Kepangkatan Tinggi ( Wanjakti ) Angkatan Darat. Wanjakti  itu bertugas  untuk memberikan saran kepada  Men/ Pangad tentang  kenaikan jabatan  dan kepangkatan  perwira  tinggi AD . Dengan isu-isu yang  dilontarkan  PKI itu, TNI balik menuduh bahwa PKI akan  melakukan perebutan  kekuasaan.
  • Pelaksanaan Gerakan G.30. September 1965

Di- tengah-tengah kecurigaan  dan menanjamnya konflik  antara TNI-AD dan PKI, terjadi  peristiwa yang sangat  mencekam. Sekelompok pasukan yang ber intikan Batalion Pengawal   Utama Cakrabirawa di bawah pimpinan  Letnal Kolonel  Untung, melakukan  aksi di Jakarta. Aksi  dimuali dari daerah sekitar Bandar  Udara Halim Perdana  Kusumah  pada tengah malam  tanggal 30 September 1965.

Gerakan itu dikenal dengan Gerakan Tigapuluh September atau  sering di sebut Gestapu. Nama ini mengingatkan  nama Gestapo, yakni  pasukan rahasia Hitler yang  terkenal berani dan kejam. Ternyata  gerakan  ini juga  bertindak kejam. Mereka menculik  dan membunuh para  perwira TNI-AD,  Jenderal Ahmad Yani  dan  Brigader  Jenderal D.I  Panjaitan  berhasil ditembak di rumahnya, sedangkan yang lain  disiksa dan dibunuh. Setelah  itu, jasad para  perwira tinggi  tersebut dimasukkan kedalam sumur  tua yang disebut  Lubang Buaya, Jakarta.

Adapun beberapa  perwira TNI-AD  yang diculik itu ialah :
  1. Letnan Jenderal  Ahmad Yani, Men/ Pangad
  2. Mayor Jenderal R. Suprapto, Deputi II Men/ Pangad
  3. Mayor Jenderal Haryono M.T, Deputi III Men/ Pangad
  4. Mayor Jenderal S. Parman, Asisten I  Men/ Pangad
  5. Brigadir Jenderal D.I Panjaitan , Asisiten IV  Men/ Pangad
  6. Brigadir  Jenderal   Sutoyo Siswomiharjo, Inspektur  Kehakiman/Oditur Jenderal    TNI- AD
  7. Lettu  Pierre Tendean , Ajudan Jenderal  A. H. Nasution.
Sementara itu, usaha penculikan terhadap diri Jenderal A.H Nasution gagal, tetapi ajudannya, Lettu Pierre  Tendean berhasil diculik dan dibunuh di Lubang Buaya . Bahkan  putri  tercinta A.H. Nasution , Ade Irma  Suryani  yang baru berumur 5 tahun  juga menjadi  korban keganasan  para penculik  PKI . Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun, juga gugur dalam melawan  gerombolan penculik yang  sedang memasuki   halaman rumah  Leimena. Di Yogyakarta  kaum  pemberontak juga telah  menculik  Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono. Kemudian ke sepuluh  perwira   diatas oleh  pemerintah Indonesia  ditetapkan sebagai  Pahlawan Revolusi.

Di samping menyiksa dan membunuh  para perwira AD, kekuatan G.30 S/ PKI juga berhasil menguasai gedung  RRI pusat  kantor telekomunikasi. Dalam siarannyanya tanggal 1 Oktober 1965, melalui RRI pemimpin pemberontakan G-30.S / PKI  Letkol Untung  menyatakan  telah berhasil  mengambil tindakan tegas  terhadap Dewan Jenderal  yang akan melakukan kudeta pada  pemerintah. Waktu itu, PKI  menyatakan berdirinya Dewan Revolusi. Dewan Revolusi selanjutnya bertindak sebagai pemegang kekuasaan  dan keamanan  negara. Sebagai  ketua Dewan  Revolusi adalah Letnan  Kolonel Untung dan wakilnya, Brigjen Suparjo.
  • Upaya Penumpasan G.30. S / PKI

Melihat keadaan yang cukup gawat itu maka Mayor  Jenderal Soeharto selaku Panglima  Kostrad ( Komando  Strategis  Angkatan Darat ), segera melakukan  koprdinasi  dan mengambil  tindakan tegas. Mayjen Soeharto  segera memerintahkan pasukan dari  esimen Para Komando  Angkatan Darat ( RPKAD ) di bawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, untuk mengamankan  keadaan. Pasukan   RPKAD diberi tanggung jawab  untuk melakukan  penumpasan terhadap G – 30. S / PKI.

Dalam waktu singkat pasukan Siswo  Edhie Wibowo berhasil merebut RRI. Kemudian  tanggal 1 Oktober  1965 malam  Mayjen Soeharto  mengeluarkan  pengumuman   melalui RRI. Isi  pengumuman itu, antara lain menegaskan bahwa G-30.S /PKI adal;ah pemberontakan  dan Presiden  Soekarno dalam  keadaan selamat. Oleh karena itu, rakyat diminta tenang tetapi  tetap waspada.
Tanggal 1 Oktober 1965, keadaan Jakarta  sudah daopat dikendalikan Pangkalan Halim Perdana Kusumah yang merupakan markas  G-30. S/  PKI   dapat dikuasai  oleh pasukan  RPKAD. Begitu juga , Lubang Buaya  yang merupakan  daerah  pertahanan  dan tempat penyiksaan  para perwira TNI- AD dapat di kuasai. Tanggal 2 Oktober 1965, jenazah-jenazah para perwira  TNI-AD yang dibunuh  berhasil ditemukan  di sumur tua  di daerah  Lubang Buaya. Pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan hari  ABRI, jenazah para perwira  Angkatan Darat dimakamkan di tanam  makam pahlawan  Kalibata.

Sementara itu , jenazah para korban  keganasan G-30. S /  PKI  di Yogyakarta, yakni Kolonel Katamso  dan Letkol  Sugiyono yang diculik oleh para pemberontak baru ditemukan di Kentungan, tanggal 19 Oktober 1965. Keduanya kemudian dimakamkan  di taman Makam  Pahlawan  Semaki.
Di pihak lain, beberapa  gembong G-30. S / PKI  berhasil meloloskan  diri ke berbagai  daerah. Namun, usaha  penumpasan  dan penangkapan  terus dilakukan  baik di Jakarta, Jawa  Tengah, Yogyakarta , maupun Jawa  Timur. Dalam operasi  penumpasan  dan pengkapan  itu, pada tanggal  9 Oktober 1965, telah berhasil  ditangkap Kolonel Latif, bekas Komando Brigade Infanteri / Kodam V Jaya  di Jakarta.

Kemudiasn tanggal 11 Oktober 1965, Kolonel Untung tertangkap di Tegal Jawa Tengah, sedangkan D.N. Aidit yang menjadi  pucuk pimpinan  PKI tertangkap pada tanggal 22 November  1965 di Surakarta. Dua hari  kemudian terbetik barita bahwa  Aidit, telah  ditembak mati. Di samping  itu, masih banyak tokoh  PKI lain yang tertangkap, sepwerti Nyono,  Sudisman, dan Kolonel  Sakirman. Para tokoh  PKI yang tertangkap itu segera diajukan  ke Mahkamah Militer Luar Biasa ( Mahmillub). Dengan demikian, G- 30. S / PKI  akhirnya telah berhasil ditumpas.

Konflik – Konflik Internal  Lainnya

Selain tragedi Nasional  seperti yang  telah di uraiakan di atas, ternyata gangguan  stabilits nasional masih muncul di berbagai  daerah. Gangguan  ini terutama  terjadi karena konflik lokal  antara etnis  satu dan etnis yang lain, agama  satu dan  agama yang lain, atau konflik poltik yang  mencuat setelah runtuhnya Orde Baru.

Sejak tahun 1998, sampai  tahun 2001 di Indonesia terjasdi berbagai  kasus kekerasan  dan kerusuhan sosial, seperti  kasus kerusuhan  Mei 1988, kerusuhan sosial  di Sambas, Ambon, Poso,, dan Sampit. Konflik sosial  bernuansa  suku, agama, ras, dan  antar kepercayaan  ( SARA ) tersebut menunjukkan  gejala  terjadinya kekerasan  antar masyarakat. Dampak  berbagai peristiwa tersebut adalah  timbulnya bencana  kemanusian berupa  hilangnya nyawa, harta benda, timbulnya  gelombang  pengungsian, dan hancurnya  kerukunan dan kesatuan masyarakat.

Kerusuhan Mei 1998

Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk  rasa  mahasiswa di Universitas Trisakti telah terjadi bentrokan antara mahasiswa dan  aparat keamanan   yang mengakibatkan  4 (empat) orang mahasiswa  tewas tertembak, yaitu Elang Mulya Lesmana,  Hafhidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan  Sie. Selain itu,  puluhan mahasiswa  dan warga  lainnya  mengalami luka-luka. Kematian  ke empat mahasiswa Trisakti  tweersebut teryata  tidak menyurutkan aksi mahasisiwa di seluruh  Indonesia. Bahkan  kematian empat  Pahlawan Reformasi itu zsemakin mengobarkan semangat   seluruh mahasiswa  di seluruh Indonesia yang didukung oleh masyarakat  untuk terus menyuarakan tuntutannya  supaya Presiden  Soeharto mengundurkan  diri dari presiden.

Tragedi Trisakti tersebut  membuat masyarakat bersduka  dan marah. Kejadian  itu memicu terjadinya kerusuhan  massa pada tanggal 13- 14 Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya. Kerusuhan itu  mengakibatkan lumpuhnya  kegiatan perekonomian masyarakat. Banyak pusat perbelanjaan  di jarah oleh orang-orang  yang tidak bertanggung jawab . Beratus-ratus pertokoan  menjadi amukan si jago merah. Dalam peristiwa  tersebut banyak  jatuh korban  jiwa akibat  kebakaran sebanyak  1.000 orang. Kerusuhan  juga  terjadi di Surakarta , dimana bangunan-bangunan  dan pertokoan  yang diduga  sebagai hasil KKN di bakar dan dijarah. Dalam kerusuhan  di Solo banyak  yang jatuh korban  jiwa akibat pembakaran di dalam bangunan pertokoan.

Kerusuhan  di  Sambas

Kerusuhan di Sambas, Kalimantan Barat  ini terjadi karena konflik antar suku, yakni etnis Madura dengan etnis Melayu sambas. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1997. Akan tetapi, kalau diruntut secara historis peristiwa kerusuhan semacam itu sudah sering terjadi sejak tahun 1962, 1963, 1964, 1968, 1972,  1983, 1997, hingga 1998.

Kondisi sosial di Sambas yang begitu heterogen memang sangat rawan untuk terjadinya konflik sosial. Penduduk kabupaten Sambas terdiri atas berbagai etni, seperti Melayu, Dayak, Jawa, Bugis, Sunda, Batak, Cina, Banjar, Ambon, Minangkabau, dan Madura. Kondisi sosial inilah yang dapat melahirkan konflik.

Kerusuhan Sambas terjadi pada 1998 sering dikenal dengan peristiwa Sambas. Peristiwa Sambas adalah konflik antara etnis Melayu Sambas dengan etnis Madura. Peristiwa kerusuhan ini sebenarnya berawal dari penganiayaan seorang Madura bernama Hasan karena tertangkap ketika hendak mencuri di rumah Ahmad bin Taju’in. Hasan dipukuli kemudian diserahkan kepada polisi dan dirawat di puskesmas. Esoknya, Hasan dipulangkan ke desanya. Hasan kemudian melaporkan pemukulan ini kepada anggota keluarga dan tetangganya. Tanpa mengecek kebenaran laporan Hasan itu, orang-orang Madura berusaha menuntut balas.

Pada tanggal 19 januari 1998  bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri sekitar 200 orang Madura menyerang penduduk Desa Parit Setia. Penyerangan ini mengakibatkan tiga orang Melayu meninggal dan lainnya luka parah. Peristiwa penyerangan ini segera menyebar luas ke berbagai daerah. Orang-orang  Melayu Sambas pun mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Untuk meredam suasana, Muspika mempertemukan para pemuka masyarakat dari kedua belah pihak untuk berdamai. Dalam perdamaian itu disepakati bahwa para pelaku penyerangan diadili sesuai dengan dilanggarnya. Orang-orang Madura yang merasa  lebih kuat kemudian meneror orang-orang Melayu Sambas. Bahkan orang-orang Madura membunuh seorang kernet dari masyarakat Melayu. Kerusuhan pun mulai berkecambuk . pemerintah segera turun tangan untuk mengatasi kerusuhan tersebut.

Upaya untuk menyelesaikan konflik Sambas dilakukan oleh pemerintah bersama tokoh kedua pihak yang bertikai. Pada tanggal 26 April 1999 pemerintah bersama wakil dari pihak suku Dayak, Melayu, Tionghoa, dan Madura bertemu untuk melakukan kesepakatan damai dengan membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat. Dalam pertemuan tersebut,disepakati bahwa konflik tersebut tidak dipicu oleh pertikaian antarsuku, tetapi merupakan pertikaian individu.

Konflik Maluku

Konflik di Maluku muncul pada awal tahun 1999, konflik ini lebih terlihat sebagai konflik agama.
  • Latar Belakang
Kalau dicermati secara historis, sebab-sebab konflik di Maluku dapat diruntut dari kondisi sosial sejak zaman kolonial. Sejak abad ke-17 VOC telah mengambil kebijakan memisahkan antara penduduk yang beragama Islam dan Kristen. Orang-orang Islam tidak boleh pindah ke pemukiman orang Kristen atau sebaliknya. Oleh karena itu, ada pemukiman blok orang-orang Islam dan pemukiman orang-orang Kristen.

Kebijakan pemisahan ini ternyata juga berakibat pada kehidupan masyarakat. Salah satu  bidang yang penting adalah bidang pendidikan. Penyelenggara pendidikan ini terkait dengan kegiatan gereja dang pengembangan ajaran Kristen. Tentunya hal ini tidak dapat diikuti oleh penduduk Muslim. Mulai abad ke-18 sudah beberapa sekolah yang diasuh oleh guru-guru lokal. Kegiatan pendidikan makin berkembang. Orang-orang Kristen menjadi kelompok terpelajar sedang umat Islam makin tertinggal. Orang-orang Kristen umumnya menjadi pegawai pemerintah. Kedudukan ini makin memperkuat orang-orang Kristen baik secara sosial maupun ekonomi.

Perubahan mulai terjadi setelah  masa kemerdekaan dan terutama  masa Orde Baru. Dengan berkembangnya  perkebunan, pertambangan dan industri , kehutanan  yang tersebar di Maluku  telah mengangkat  kondisi perekonomian  orang-orang Islam. Mereka  umumnya  hidup dengan berdagang.
Kebijakan Belanda yang kemudian melahirkan  dua kelompok sosial  ini tentu tidak menguntungkan  bagi pemerintah Indonesia. Hal itu disebabkan sewaktu-waktu  kondisi tersebut dapat menimbulkan  konflik.
  • Munculnya Konflik.
Konflik di maluku ini  terjadi beberapa  kali atau tahapan :
  1. Tahap Pertama : Pada tanggal 19 Januari 1999, telah terjadi pertikaian  antara seorang sopir angkot dan  preman di terminal  Batumerah. Peristiwa meluas  menjadi konflik  antara kelompok Islam  dan kelompok Kristen. Ke esokkan  harinya tidak diketahui  sebabnya terjadi  kebakaran diberbagai  sudut Kota Ambon. Konsentrasi massa  terjadi. Kelompok  Kristen berkumpul di gereja-gereja, terutama di gereja  Maranatha. Sementara  itu, kelompok Islam   berkumpul di-masjid-masjid , terutama di Masjid  Al- Fatah. Orang – orang Kristen  memakai ikat kepala yang berwarna  merah, dan orang-orang Islam  memakai ikat kepala  dengan berwarna putih Pasar tempat berdagang orang-orang Bugis, Makassar, dan Buton  diserang dan dibakar. Senjata yang  digunakan  tahap pertama  ini adalah  senjata tradisional , seperti parang  dan tombak.
  2. Tahap Kedua : Konflik tahap kedua ini  berawal pada tanggal 24 Juli 1999. Pada  hari itu sejumlah pusat perekonomian di Jl. A.J. Patty, dibakar. Kedua  belah pihak  telah menggunakan  senjata api rakita. Jelas hal  ini membuat   suasana makin  mencekam. Konflik   ini meluas  sampai ke Pulau Seram. Pada tanggal  18 dan 19 Agustus 1999, sejumlah  Negeri Islam  menyerang negeri Piru yang   mayoritas berpenduduk Kristen. Konflik besar-besaran  terjadi di Kota Ambon  pada tanggal 26 – 30 November 1999. Pada tanggal 12 Desember 199, Presiden Abdurrahman Wahid  dan Wakil Presiden  Megawati berkunjung ke Ambon, untuk menenangkan  masyarakat menjelang  hari raya  umat Islam dan juga  hari raya  umat Kristen. Demikian konflik  sejenis terjadi  beberapa kali, ketiga  dan ke empat. Sudah tentu konflik  ini sangat  mengganggu  stabilitas  nasional.

Konflik di Sampit

Selain di Sambas, konflik  antara etnis  Madura  dan Dayak serta Melayu juga terjadi  di Kabupaten Sampit, Kalimantan Tengah, pada tahun 2001. Konflik  yang berawal  pertikaian perorangan  yang berkembang menjadi  konflik antar retnik  pada tanggal 18  Februari 2001, tersebut menimbulkan  ratusan korban  jiwa di kedua  belah pihak. Selain itu,  konflikk tersebut juga menyebabkan  terjadinya  pengungsian  16.000 warga etnik  Madura  yang   kembali  ke Pulau Madura pada bulan Februari 2001.

Kerusuhan  di Poso

Konflik  seperti  yang terjadi di Maluku ternyata juga terjadi di Poso. Konflik Poso ini  juga berkembang menjadi konflik  etnis  dan agama .
Struktur sosial  masayarakat Poso  yang beragam  sangat  rawan konflik  Penduduk Kabupaten Poso terdiri atas  dua kelompok, yakni kelompok  suku asli dan kelompok suku pendatang.Kelompok  suku asli  terdiri atas  dua kelompok :
  • Kelompok yang secara  turun- temurun  lahir dan dibesarkan  di Poso. Mereka  ini  adalah suku Pamora.
  • Orang- orang   dari Sulawesi namun leluhurnya  dari Poso. Mereka ini  adalah suku Kaili  dan suku  Mori.
Kelompok  pendatang terdiri  atas orang-orang  Bugis, Makassar  ( mayoritas ), dan para  transmigran dari Jawa, Nusa Tenggara, Buton, Muna dan Toraja.

Dilihat  dari sudut agamanya, kelompok-kelompok  tersebut dapat  dibedakan agama Islam dan agam Kristen. Agama Islam  di anut  suku Kaili, Bugis, Makassar, Muna , dan Buton. Agama Kristen dianut oleh  suku Pamora, Mori ( Toraja ), sementara  transmigran  dari Jawa  dan Nusa Tenggara  menganut agama  yang berbeda, yaitu Islam, Kristen, dan Hindu. Dengan demikian, di dalam masayarakat Poso  secara garis  besar juga  terdapat dua  kelompok besar, yakni Kristen dan  Isalam. Kondisi  yang beragam ini kalau tidak dikelola secara baik juga menjadi  potensi  terjadinya konflik.
Kerusuhan di Poso sebenarnya sudah terjadi pada akhir Desember 1998. Kerusuhan ini dipicu oleh sentimen agama. Kerusuhan  ini bermulai dari peristiwa  penyerangan sekelompok  pemuda Kristen  terhadap beberapa  remaja yang  tengah tidur menunggu waktu  sahur. Ketegangan tersebut berkembang  menjadi konflik  ini juga  ditunggangi oleh  kepentingan  politik, yakni dikaitkan  dengan isu  pemilihan bupati setempat. Situasi kehidupan  bermasayarakat di Poso  menjadi tidak konduksif.

Ketegangan  terus menyelimuti kehidupan masyarakat. Bulan April tahun 2000  kembali  terjadi kerusuhan  yang juga  dilatarbelakangi  moleh konflik agama. Kerusuhan ini  berawal dari  adanya perkelahian antara dua kelompok pemuda Islam dan pemuda Kristen. Bahkan pernah dilaporkan  oleh Harian Republika, bahwa ratusan  santri  dari Pondok Pesantren Wali Songo di Desa  Togolu. Kecamatan Lage Poso, lenyap. Di duga  peristiwa ini  juga ada kaitannya  dengan konflik  agama yang  sedang terjadi.

Pada tanggal 26 November  sampai tanggal 2 Desember 2000, terjadi  bentrokan  yang melibatkan kelompok  yang tidak di kenal. Dalam peristiwa tersebut puluhan  rumah hancur dan ribuan  warga  mengungsi  ke daerah yang lebih aman.

Upaya  penyelesaian konflik Poso di lakukan  pada masa pemerintahan Presiden Megawati  dengan diadakannya  Konfrensi Malino pada tanggal 19-20 Desember 2001. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh dua kelompok yang bertikai dengan difasilitasi  oleh Menko Kesra  Yusuf Kalla, yang berhasil  dicapai kesepakatan  damai kedua belah  pihak di Poso dan disepakatinya 10  butir kesepakatan. Selanjutnya, untuk meredam konflik  Poso tersebut pemerintah melakukan  razia senjata yang digunakan  dua  kelompok  yang bertikai. Setelah tercapainya  Kesepakatan Malino di Poso, konflik  Poso berangsur-angsur  mereda sehingga rakyat bisa  merasa kondisi, keamanan yang  semakin konduksif serta dilaksanakannya rehabitasi berbagai sarana dan prasarana  yang rusak akibat terjadinya  konflik yang  bernuansa SARA  tersebut.

Berbagai konflik  yang bernuansa SARA, tersebut menimbulakn  dampak berupa  terjadinya gelombang  pengungsian warga  korban konflik di daerah yang bertikai, seperti Ambon, Poso, Sambas dan Sampit. Sejak  terjadinya konflik sosial  pada tahun  1997 tercatat sejumlah 1,2  juta warga Indonesia  yang menjadi pengungsi di negerinya sendiri akibat pertikaian  antar kelompok. Selanjutnya, para pengungsi tersebut ditampung  di 20 tempat pengungsian yang tersebar di seluruh  wilayah Indonesia. Jumlah  pengungsi terbesar  berada di Maluku sebanyak 300.000 orang dan  125.000 pengungsi di Maluku Utara. Selain itu,  masih terdapat  para pengungsi  korban konflik  Sambas dan Sampit yang  terpaksa  kembali ke kampung halamannya  di Pulau Madura sejumlah 25.000 jiwa. Kondisi  para pengungsi  tersebut ditempat pengungsian  sangat memperhatinkan  karena buruknya kondisi sanitasi, kurangnya sarana kesehatan, minimnya  sarana pendidikan, dan merebaknya  wabah penyakit, seperti diare, infeksi  saluran pernafasan, tifus, penyakit kulit, dan gejala kurang gizi. Meskipun  pemerintah telah berusaha  untuk mengatasi  masalah pengungsi  tersebut, namun mengingat besarnya jumlah pengungsi  dan keterbatasan  dana yang dimilki oleh pemerintah, sehingga tidak semua  pengungsi  menerima bantuan berupa fasilitas dan jaminan  hidup yang memadai.

Demikianlah sejarah peristiwa tragedi nasional yang pernahh terjadi di negeri kita yang tercinta ini, semoga dengan cerita di atas kita bisa mengetahui betapa pentingnya persatuan untuk negara kita dan semoga dengan penjelasan di atas juga bisa merubahh pola pikir bangsa Indonesia untuk menjadi negara yang sejahtera dan jauh dari konflik-konflik antar sesama rakyat Indonesia.

Referensi Saya : Sardiman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar