Jumat, 28 Agustus 2015

Cerita Pendek, Sapi

Cerita Pendek, Sapi
MEMEK Manipatri tidak bahagia. 
Semua orang tahu itu. Ia sendiri tahu tahu itu karenanya ia menunjukkan bahwa ia sangat bahagia dengan duduk di atas mimbar dan jadi juru tafsir dan juru kritik orang-orang. Peranan yang memungkinkan dan amat gampang karena ia adalah tukang sayur di kampung kami. Ambil lauk serta sayur dari pasar, menggelarnya di meja tinggi dan timbungan barang-barang, menghadapi orang-orang kampung yang tak punya uang dan setengah menjilat untuk memperoleh utangan. Para pendengar setia yang datang untuk "mengiyakan", yang tak begitu disadarinya dan dianggap sebagai anak-anak buah dari satu pertemuan Darma Wanita. Bisa jadi!

"Kamu itu" katanya, nyaris pada setiap orang. "kalau punya duit ya bayar utang-utangmu jangan malahan mencegat tukang sayur keliling (mencibirkan bibir). Kalau tak punya duit baru bergegas sini dan mengambil barang seperti barang mbok-de-me sendir. Perasaan dong! Dari mana aku punya modal? Kan labaku cuma selawe atau lima puluh perak. 

Orang-orang cuma diam saja. Menunduk. Saling melirik dan menahan senyum-terkadang saling menyepak perlahan-lahan jauh di bawah, tak terlihat oleh meja tinggi dan timbunan sayur dan lauk. Tak ada orang yang berani menyahut, Pura-pura salah saja, bagai para anak buah. Toh, menurut anggapan mereka, mereka mengalah untuk menang - untuk memperoleh utangan dan di saat punya kebebasan memilih mempergunakan kebebasan itu untuk memilih. Meski kadang-kadang, mbok-e Muji balik mengejeknya. "Ala...," katanya, "Wong duit mboke saja pakai gaya nagih ngamuk-ngamuk. Kamu dan aku itu sama saja, kere - suamimu pegawai negeri, suamiku juga pegawai negeri, bedanya cuma mbok-mu itu kaya dan murah hati..."

***
DAN karenanya Memek Manipatri tidak bahagia, meski ia mencoba menunjukkan bahwa ia sangat bahagia, Bilang bahwa keluarga suaminya merupakan keluarga klasik yang terpandang dan terhormat. 

"Mereka punya pemakaman keluarga, turun-temurun - ibunya Mas No malah sudah disediakan tempatnya, rendeng dengan bapaknya Mas No, katanya. 

Dengan kepala tengadah dimiringkan ke kiri, dengan mulut mencibir dan pandangan menghina - tidak sadar - ia mencemoohkan asal-usulnya sendiri. Ayah yang hanya petani dengan harta yang berupa sapi kereman - kini almarhum dan meninggalkan tanah, tegal dan sawah, yang disewakan tahunan - dan ibunya yang penjaja mracang di kampung, warung yang sudah berdiri sejak tiga puluh lima tahun yang lalu, dan menghidupkan omzet dengan hubungan emosi dengan penduduk kampung yang tak segan-segan mengutang. 

Bahkan, dengan omongannya yang menempatkan dirinya jauh di atas mimbar sebagai juru tafsir , ia kembali memutar balikkan fakta. Bahwa barang perhiasan (gelang, kalung, dan cincin), yang diberikan ibunya sebagai hadiah perkawinan dan dipinjam mertuanya untuk berobat, dan baru dikembalikan, diklaim dan diuar-uar sebagai hadiah dari mertuanya. 

"Ibunya Mas No itu...," katanya, kalau memulai akan omong membanggakan. 

"Tapi, sesungguhnya, tak ada trah apa-apa pada Mas No itu. Ia diambil anak ketika bapaknya - yang orang kebanyakan - kawin dengan ibunya yang keturunan cikal-bakal Kampung Su'ud itu serndiri, kini, cuma jejeran lima rumah yang tergusur waktu dan tampak rapuh, meski, pada masanya, sang cikal-bakal itu pernah berjaya menjadi lurah yang sangat kaya dan berkekuasaan. 

 Sayang anak-anaknya yang termanja serta selalu mengandalkan bapak tak jadi apa-apa. Orang kebanyakan yang tak punya pekerjaan tetap di pemerintahan, orang kebanyakan yang bingung  menghadapi sawah dan ladang, para priyayi yang hanya bisa mengupah orang dan perlahan ditelah oleh difisit karena mengupah orang. Dan salah satu anak gadisnya kawin bapaknya - dalam tanda kutip - Mas No; lalu memungutnya dari adik lelakinya yang baru cerai dan mau kawin lagi. Kemudian ia mengklaim dirinya sebagai trah, sebagai raden - orang-orang terkadang menyebutnya sebagai trah Raden Diman, bapak aslinya, dan bukan trah Mbah Ongso dari gadis ibu tirinya, tapi dengan santun, orang-orang mengangguk serta menunduk menyembunyikan senyum ketika Memek Manipatri bilang bahwa "Ibunya Mas No..."

"Yang di alas itu ..." celetuk batin orang-orang - sudah bukan rahasia lagi bahwa ibu asli Mas No itu merupakan anak magerarsaren di alas jati kaki Gunung Wilis. Memang! Dan karenanya orang-orang sangat percaya bahwa Memek Manipatri sesungguhnya tidak bahagia, sangat tidak bahagia. Meski ia bilang tanah rumahnya dibeli dengan menjual sepeda motor Mas No. Meski bilang bahwa rumah itu dibangun dengan tunjangan orangtua Mas No. Sungguh menantu yang baik dan sangat memuliakan mertua - yang diklaimnya sebagai trah raden. 

Tapi orang-orang - apakah ada rahasia di kampung? - tahu bahwa justru ibunyalah yang dipanggilnya mbok, yang memodali semua itu. Yang terbesar, maksudku. Dulu, kata orang, ketika tanah itu akan di beli, Mas No menawarkan akan menjual sepeda motornya tapi malu sehingga mertuanyalah yang menawarkannya. Tapi ketika tahu harganya amat murah maka ia tak mau menjualnya sehingga "terpaksa" sang mertualah yang melakukan transaksaksi dan membayar kontan. Ketika membangun rumah orangtua Mas No mengirim satu truk pasir, satu truk bata, satu truk batu pondasi, dan sepuluh sak semen - lalu mertuanyalah yang harus menutup semuanya, akan tetapi Memek Manipatri bilang bahwa, "Ibunya Mas No ...."

***
MEMEK Manipatri sesungguhnya tidak berbahagia meski ia memperlihatkan peran orang di atas mimbar yang lebih segalanya dari orang lain. Menafsirkan setiap peristiwa, mengomentari setiap tindakan, dan mengejek setiap orang. "Tak ada yang seperti aku, begitu rumusan filsafat hidupnya. 

Dan memang tak ada yang seperti dia, merangkul erat-erat mbok-annya dan menyusu sangat buas sambil curiga pada setiap saudaranya. Kakak-kakaknya - wanita semua - bersuami pegawai negeri dan jadi pegawai negeri; mapan di tanah rantau, yang sesekali datang menengok dan dicurigai Memek Manipatri sebagai meloni untuk mengambil warisan. Ia takut kekayaan mbok-e diminta saudaranya yang lain dan tidak tumpah-ruah padanya seorang. Ia juga sangat iri pada adiknya, tunggal, lelaki, yang dibangunkan rumah di samping rumah warisan. Tapi sesungguhnya ia ingin apa, ia ingin seberapa? Ataukah ia merasa bahwa ia sangat rapuh secara ekonomi dan karenanya berkutat  sekuatnya pada sandaran kekenyalan keuangan mbok-e?

Mas No itu sesungguhnya seorang peternak, saya tegaskan; "peternak'. Lima tahun ia jadi honores pemda dan karenanya hidup menumpang di rumah mertuanya. Setelah jadi pegawai tetap, PNS dengan dua anak, dan memiliki rumah, ia tetap membelanjani istrinya secara klasik - mendrop beras bagian (gaji) dan membiarkannya mencari lauk dan ongkos membayar listrik dan seterusnya sendiri. 

Ia sendiri setia pada hobinya. Mengeluyur. Memelihara burung dan segala hobi Klangenan lainnya. Pergi ke kantor, pulang untuk pergi lagi, dan balik pada saat pukul 22.00 malam untuk tidur. Tak risau pada anak-anaknya karena kedua anaknya dititipkan pada orangtuanya, di mana ia selalu menyempatkan diri mampir dan mencari makan enak. Tak risau memikirkan kesehatan mereka. Tak risau memikirkan perkembangan jiwa mereka. Tak risau memikirkan perkembangan akademik (SD) mereka. Tenang seperti seorang peternah, yang mempercayakan pertumbuhan sapi dan kambing pada padang rumput dan alam. 

"Anak lelaki tak akan pulang meteng," katanya. 

Dan filsafat peternak ini menjalar pada Memek Manipatri. Tak peduli pada apa pun, puas dengan meja tinggi dan tumpukan lauk serta sayur, serta beking kekenyalan keuangan mbok-e. 

***
TAPI Memek Manipatri tak bahagia. Semua orang tahu itu, dan ia sendiri tahu itu. "Kalau hamil jangan diumbar, jangan biarkan orok dalam perut membesar dan menjebol jalan lahir ketika keluar," katanya, "Nanti "anu"-mu diobrak-abrik dokter dan suamimu tak puas dan lari dengan wanita lain. Jangan seperti Bu Nenok!" 

Dan ia bicara begitu sambil menunjuk Ibu Nenok. Ibu Nenok tersenyum saja, karena ia tahu Memek Manipatri tidak bahagia dan mencoba menunjukkan yang lain lebih patut dikasihani serta tak tahu ilmu hidup, karena semua percaya bahwa Mas No baru saja kepincut anak gadis tukang kopi di terminal dan ke sana kemari berboncengan serta berpacaran. Tak heran kalau Memek Manipatri makin lantang serta makin kritis menilai dan mengejek orang lain, dan percaya orang lain akan lebih celaka dan akan lebih tak berbahagia dari ketidakbahagiannya, sebagai istri yang suaminya tak telaten, tak mengurusi, dan kini malahan pacaran lagi. 

Memek Manipatri memang tak bahagia, malam-malam ketika semua orang berkumpul dalam hangat kekeluargaan di rumah, dan karenanya terkadang ia terlihat duduk sendiri di beranda, atau menyapu-nyapu dengan pandangan kosong dan hampa, atau malam-malam menggedor rumah mbok-e untuk sekedar mencari teman omong dan lalu bergegas pulang karena takut Mas No keburu pulang. 

Memek Manipatri sesungguhnya tak bahagia. Ia seperti sapi yang tak ditelateni dan nelangsa dengan ketelantaran diri; meski terus lantang menilai dan mengejek orang lain. 

Dan orang-orang tahu bahwa Memek Manipatri memang tak bahagia. Sangat tak bahagia...! 

 Kompas, 17 April 1994

Sumber
Penulis : Beni Setia
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995) 
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar