Jika dilihat dari bentuknya sangat telihat jelas perbedaan antara arit dengan celurit. Arit atau sabit biasanya bagi para petani digunakan untuk mencari dan memotong rumput, semak-semak, atau ranting-ranting kecil. Arit bisa disebut sebagai pisau besar yang bentuk melengkung dan ujungnya runcing dan tajam.
Mengapa dibuat dengan bentuk yang demikian, itu semua dikarenakan untuk menarik rumput atau ranting yang terpotong, arit bukan merupakan senjata atau gaman sebagai alat untuk mempertahankan diri, sekalipun dapat digunakan dalam keadaan terjepit ketika menghadapi hewan liar yang akan menyerang.
Arit juga digunakan sebagai bagian dari simbol komunisme atau sosialisme revolusioner, yaitu palu arit. Dalam simbol tersebut, sabit melambangkan kelas buruh yang bekerja di sektor pertanian.
Clurit memiliki bentuk yang hampir seperti arit, hanya saja tidak terlalu melengkung seperti lambang tanda tanya. Bentuknya ada yang kecil dan besar. Clurit merupakan senjata tradisional masyarakat Suku Madura yang ada di Madura maupun yang tinggal di sebagian wilayah timur Jawa Timur. Jadi clurit bisa disamakan dengan keris pada Suku Jawa atau rencong pada Suku Atjeh atau Mandau, kujang, serta badik. Jadi bukan merupakan pisau atau alat pemotong. Menurut pengamatan penulis, selama ini memang ada masyarakat Suku Madura yang menggunakan clurit untuk merumput tetapi bentuknya kecil. Baik arit atau sabit dan clurit sebagai alat pemotong atau senjata harus digunakan sewajarnya dan seperlunya. Bukan untuk macam-macam, apalagi mengancam. Jadi kalau bukan petani, jangan menyimpan arit dan clurit.
Celurit atau yang dikenal juga oleh masarakat Makassar dengan sebutan Senjata Carok. Senjata ini sudah melegenda sebagai senjata yang biasa digunakan oleh tokoh bernama Sakera. Masyarakat Madura biasanya memasukkan khodam, sejenis makhluk gaib yang menempati suatu benda, ke dalam celurit dengan cara merapalkan doa-doa sebelum carok.
Kini, masyarakat Madura masih memandang celurit sebagai senjata yang tak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Tak heran bila pusat kerajinan senjata tajam itu banyak bertebaran di Pulau Madura. Misalnya, desa kecil bernama Peterongan, Kecamatan Galis, sekitar 40 kilometer dari Kabupaten Bangkalan. Di sana, sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit. Keahlian mereka adalah warisan leluhur sejak ratusan tahun lampau.
Celurit dikerjakan seorang pandai besi, biasanya seorang pandai besi berpuasa sebelum mengerjakan sebilah celurit. Bahkan setiap pada bulan Maulid, di bengkel pandai besi dilakukan ritual kecil. Ritual ini disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi, dan air bunga. Sesajen itu kemudian didoakan di mushola. Baru setelah itu, air bunga disiramkan ke bantalan tempat menempa besi. Diyakini kalau ada yang melanggar (mengganggu), ia akan mendapatkan musibah sakit- sakitan. Orang-orang dilarang untuk melangkahi apalagi menduduki tombuk atau bantalan penempa besi.
Memilih besi yang diinginkan menjadi awal pembuatan celurit. Jika menginginkan celurit yang berkualitas terbaik digunakan besi rel atau besi mobil/jeep. Batangan besi pilihan itu tersebut kemudian dibelah dengan ditempa berkali-kali untuk mendapatkan lempengannya. Setelah memperoleh lempengan yang diinginkan, besi pipih itu lantas dipanaskan dengan suhu yang tinggi.
Logam yang telah membara itu lalu ditempa berulang kali sampai membentuk lengkungan sesuai dengan jenis celurit yang diinginkan. Penempaan dilakukan dengan ketelitian. Setelah mencapai kelengkungan yang diinginkan, clurit digerinda dan haluskan bilahnya. Setelah dimasukkan atau ditancapkan ke gagang yang telah disiapkan terlebih dahulu. Kemudian diteruskan dengan memberikan ikatan tali pada gagang tersebut. Terakhir bilah yang sudah jadi dibuatkan sarungnya dengan menggunakan kulit kerbau atau sapi dan telah diukir, di mana ukurana sarung disesuaikan dengan bentuk bilah tersebut. Lama waktu pengerjaan memakan waktu dua sampai empat hari.
Carok belum dikenal pada zaman Cakraningrat (abad ke-12M), Joko Tole (abad ke-17M) dan Panembahan Semolo. Ketika itu, seseorang membunuh dengan menggunakan keris atau pedang untuk membela kehormatannya. Masyarakat Madura meyakini bahwa celurit berasal dari legenda pak Sakera atau Sekerang, yaitu seorang mandor tebu asal Pasuruan, Jawa Timur. Ia menjadi salah satu tokoh perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Menurut cerita, ia tidak pernah melepaskan celurit jauh darinya. Ia selalu memakainya untuk kehidupan sehari-hari atau biasa digunakan untuk alat pertanian atau perkebunan. Sakera berasal dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat.
Sakera melakukan perlawanan atas penidasan penjajah. Pada akhirnya ia tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur. Beliau dimakamkan di Kota Bangil atau tepatnya di wilayah Bekacak, Kelurahan Kolursari. Tindakan penjajah yang menghukum gantung Sakera menyulut kemarahan orang-orang Madura. Mereka mulai berani melakukan perlawanan pada penjajah dengan senjata yang biasa digunakan Sakera, yaitu celurit. Sejak saat itu, celurit disimbolkan sebagai alat perlawanan, simbol harga diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar