Gerbnang Cerita - Perjalanan sejarah bangsa Indonesia tidak terlepas dari ancaman dan gangguan. Sebagai contoh terjadinya tragedi nasional, yaitu pemberontakkan PKI tahun 1948 di Madiun, peberontakkan DI/ TII, dan pemberontakkan G. 30 S / PKI.
Setelah Dekret Presiden dan diberlakukannya demokrasi terpimpin, PKI makin memperkuat diri.Dengan segala cra PKI melakukan tindakan –tindakan yang menguntungkan PKI dan kader-kadernya.Semua tindakan itu dilakukan untuk dapat meraih kekuasaan di bawah komando PKI dengan munculnya Gerakan 30 September (G.30 S/PKI). G.30 S/PKI adalah tragedi nasional yang merupakan lembaran hitam dalam sejarah nasional Indonesia. Bagaimana peristiwa itu terjadi ? Apa saja peristiwa tragedi nasional di Indonesia.
Pemberontakan PKI Tahun 1948 di Madiun
Tahun 1948 telah terjadi tragedi nasional, yaitu pemberontakan PKI. Pemberontakan PKI di pusatkan di Madiun. Bagaimana Kronologi dan akibat-akibat yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut. Untuk menjawab pertanyaan ini pderlu dipelajari uraian sebagaberikut.
Fase Awal Pemberontakan PKI Madiun
Pada saat bangsa Indonesia sedang berjuang menghadapi Belanda, pada tahun 1948 PKI, melancarkan pemberontakan di Madiun. Pembderontakan tersebut dipimpin oleh Amir Syarifuddin dan Musso. Amir Syarifuddin adalah mantan Perdana Menteri yang menanda tangani Perundingan Renville. Hasil Perundingan Renville sangat merugikan bangsa Indonesia, karena wilayah yang dimiliki semakin sempit. Karena di anggap telah merugikan bangsa, Kabinet Amir Syarifuddin jatuh. Hal itu membuat Amir Syarifuddin kecdewa. Amir Syarifuddin makin kecewa karena Kaninet Hatta yang telah terbentuk tidak mengikutsertakan golongan kiri atau komunis. Selanjutnya, Amirv Syarifuddin berbalik menjadi pemimpin oposisi terhadap Kabinet Hatta. Ia kemudian membentuk Front Demokrasi Rakyat ( FDR ) pada tanggal 28 Juni 1948.
Program Front Demokrasi Rakyat ( FDR ), antara lain :
Program Front Demokrasi Rakyat ( FDR ), antara lain :
- Menuntut dibubarkannya Kabinet Hatta
- Membentuk kabinet baru yang mengikutsertakan kekuatan PDR dan PKI
Sementara itu, pada tanggal 11 Agustus 1948, Musso yang merupakan pimpinan PKI pada tahun 1920-an, kembali dari Uni Soviet. Semenjak kedatangan Musso bdersatulah kekuatan PKI dan FDR di bawah pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin . Melalui pemikiran yang dibawa oleh Musso, PKI mulai berencana melakukan pemberontakan.
Puncak Pemberontakan PKI Madiun
Gerakan PKI ini mencapai puncaknya pada tanggal 18 September 1948. PKI di bawah Musso dan Amir Syarifuddin melancarkan pemberontakan yang dipusatkan di Madiun dan sekitarnya. Banyak pejabat pemerintah, tokoh –tokoh organisasi non komunis, dan para pimpinan pondok pesantren diculik dan dibunuh secara sadis. Musso dan Amir Syarifuddin kemudian memproklamasikan berdirinya negara Republik Soviet n Indonesia. Susunan pemerintahan negara Republik Soviet Indonesia adalah sebagai berikut :
- Kepala Negara : Musso
- Kepala pemerintahan : Amir Syarifuddin
- Panglima angkatan perang : Kol. Joko Suyono.
Akhir Pemberontakan PKI Madiun
Bagaimana usaha pemerintah dalam menghadapi pemberontakan PKI tersebut. Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Moh. Hatta mengutuk keras tindakan PKI. Pemerintah segera melancarkan operasi penumpasan. Untuk itu, dibentuklah Gerakan Operasi Militer ( GOM ). Panglima Jenderal Sudirman kemudian mengeluarkan perintah harian yang isinya antara lain menunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono sebagai Gubernur Militer Jawa Timur. Kedua tokoh militer itu diperintahkan untuk memimpin dan menggerakkan pasukan guna menumpas pemberontakan PKI di Madiun dan sekitarnya. Dari arah Jawa Tengah, telah digerakkan beberapa pasukan antara lain pasukan Siliwangi. Dari arah Timur, telah bergerak pasukan dari Divisi Jawa Timur dan brigade mobil. Dengan operasi militer pada tanggal 30 September 1948, keadaan Madiun segera dapat dikendalikan oleh pemerintah Indonesia. Dalam operasi tersebut, Musso dapat ditembak mati di daerah Ponorogo dan Amir Syarifuddin ditangkap di daerah Purwadadi.
Pemberontakan DI / TII
Pemberontakan DI / TII terjadi di Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Bagaimana pekembangan gerakan dan pemberontakan DI / TII pelajari uraian berikut.
Pemberontakan DI / TII di Jawa Barat
Gerakan DI / TII di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Munculnya gerakan DI / TII di Jawa Barat dipicu oleh penandatanganan Perundingan Renville. Sesuai isi Perundingan Renville pemerintah Indonesia memerintahkan rakyat dan TNI untuk hijrah meninggalkan daerah-daerah kantong di Jawa Barat dan masuk ke wilayah RI di Yogyakarta. Namun Kartosuwiryo menentang perintah tersebut dan tetap bertahan di Jawa Barat. Kartosuwiryo kemudian membentuk gerakan Darul Islam ( DI ) dengan didukung Tentara Islam Indonesia ( TII ),selanjutnya gerakan itu di sebut dengan DI / TII . DI/ TII bertujuan untuk mendirikan negara yang berdasarkan agama Islam dan lepas dari NKRI.
Pada tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia ( NII ). Pertempuran pertama antara TNI dan DI / TII Jawa barat terjadi pada tanggal 25 Januari 1949 di Desa Antralina, Malangbong. Tepatnya ketika pasukan Divisi Siliwangi diperintahkan Panglima Besar Jenderal Sudirman melakukan long march dari Jawa Tengah ke Jawa Barat.
Operasi militer untuk menumpas DI / TII dimulai pada tanggal 27 Agustus 1949. Dalam operasi melawan DI / TII , TNI menggunakan Operasi Pagar Betis dan Operasi Baratyahuda. Upaya menumpas Pemberontakan DI/ TII Jawa Barat memakan waktu lama. Baru pada tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditangkap di hutan Gunug Geber, Majalaya, Tasikmalaya. Dengan tertangkapnya Kartosuwiryo maka DI / TII di Jawa Barat berhasil di hancurkan.
Gerakan DI / TII di Aceh
Setelah Indonesia kembali dalam bentuk negara kesatuan, pemerintah melakukan penyederhanaan administrasi pemerintahan. Hal itu berakibat beberapa daerah mengalami penurunan status. Salah satu daerah yang mengalami penurunan adalah Aceh. Semula Aceh merupakan daerah istimewa, tetapi kemudian turun menjadi kerisidenan yang berada dibawah Provinsi Sumatera Utara.
Perubahan status Aceh telah mengecewakan beberapa pihak, terutama Daud Beureueh. Ia adalah seorang tokoh Aceh yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh. Ia menolak keputudsan pemerintah pusat tersebuyt.Pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang isinya berupa pernyataan bahwa Aceh merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia (NII )di bawah pimpinan Kartosuwiryo.
Daud Beureueh dengan pasukannya yang disebut Tentara Islam Indonesia ( TII ) segera melakukan gerakan. Beberapa kota berhasil dipengaruhi dan berada di bawah kendalinya. Pemerintah kemudian mengirim pasukan untuk menghadapi gerombolan DI / TII Aceh tersebut. Setelah beberapa tahun di kepung, akhirnya pada tanggal 21 Desember 1962 tercapailah Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang diprakarsai oleh Panglima Kodam I Iskandar Muda, Kolonel M. Yasin. Banyak para pengikut gerombolan itu yang kemudian kembali ke pangkuan Republik Indonesia ( RI ).
DI / TII di Jawa Tengah
Di daerah Tegal dan Brebes timbul Gerakan Majelis Islam yang dipimpin oleh Amir Fatah. Selain itu, di Kebumen muncul gerakan Angkatan Umat Islam yang dipimpin oleh Mahfudh Abdul Rakhaman ( Kyai Sumolangu ). Gerakan-gerakan itu hendak bergabung dengan gerakan DI/ TII pimpinan Kartoasuwiryo . Gerakan DI/ TII di Jawa Tengah itu juga mendapat bantuan dari batalyon 426, yang memberontak terhadap pemerintah.
Pemerintak membentuk pasukan Banteng Raiders untuk mengatasi pemberontakan DI/ TII. Pasukan Banteng Raiders kemudian mengadakan operasi ketat yang dinamakan Gerakan banteng Nasional ( GBN ) dan Operasi Guntur, untuk menumpas DI/TII Jawa Tengah. Pada tahun 1954 gerombolan DI / TII Jawa Tengah dapat ditumpas.
DI / TII di Sulawesi Selatan
Gerakan DI/TII Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Sebab utama pemberontakan Kahar Muzakkar berkaitan dengan rasionalisasi n dan restrukturisasi TNI. Pada tangal 30 April 1950, Kahar Muzakkar menuntut anggota Komando Gerilya Sulawesi Selatan ( KGSS ) yang merupakan pasukannya di masukkan ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin. Akan tetapi, pemerintah menolak tuntutan Kahar Muzakkar tersebut. Di Kalimantan meredam suasana, pemdrintah berencana menaikkan pangkat Kahar Muzakkar menjadi Letnan Kolonel. Sementara itu, anggota KGSS yang memenuhi syarat masuk APRIS telah diberi perlengkapan militer dan bagi yang tidak memenuhi syarat dimasukkan dalam Korps Cadangan Nasional.
Pada saat akan dilantik, Kahar Muzakkar bersama anggotanya melarikan diri ke hutan. Ia bersama pasukanya bergerilya ke hutan sambil membawa perlengkapan militer yang terlanjur diberikan pemerintah pada bulan Agustus tahun 1951. Kahar Muzakkar mengumumkan perlawanannya kepada pemerintah secara terang-terangan . Pada tahun 1952, Kahar Muzakkar menyatakan bahwa wilayah Sulawesi Selatan merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia ( NII ) pimpinan Kartosuwiryo. Untuk mengatasi Pemberontakan Kahar Muzakkar tertembak mati pada tahun 1965.
DI / TII di Kalimantan Selatan
Gerakan DI / TII juga terjadi di Kalimantan Selatan. Gerakan DI / TII Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hajar, seorang bekas anggota TNI. Ibnu Hajar menamakan gerakannya dengan sebutan Kesatuan Rakyat Yang Tertindas ( KRYT ) . Menurut pendapat Ibnu Hajar, pemrintah RI dibawah pimpinan Presiden Soekarno adalah penindas baru yang tidak menghiraukan aspirasi umat muslim di Indonesia. Oleh karena itu, umat Islam harus bersatu melawan Pemerintahan Presiden oekarno dan mendirikan Negara Islam Indonesia. Gerakan ini menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia dengan pimpinan Kartosuwiryo.
DI / TII di Kalimantan Selatan itu juga melakukan perlawanan terhadap kekuatan TNI dan pengacauan pada masyarakat. Oleh karena itu pasukan pemerintah tidak segan-segan mengambil tindakan . Pemerintah segera melakukan operasi militer. Pada akhir tahun 1959, Ibnu Hajar berhasil ditangkap. Ia di ajukan di muka sidang Mahkamah Militer Luar Biasa di Markas Besar Angkatan Darat Jakarta. Pada tanggal 22 Maret 1965, ia di jatuhi hukuman mati.
Gerakan 30 September 1965 dan Hubungan dengan PKI
Semenjak diberlakukannnya demokrasi terpimpin, kedudukan PKI makin hari hari makin kuat. Berbagai program dan tindakan yang diam bil oleh pemerintah hampir semua memberi peluang bagi PKI untuk memperkuat kader-kadernya. Kekuatan PKI itu mencapai puncaknya pada tahun 1965, saat terjadi Gerakan 30 September 1965 ( G. 30. S ).
G.30.S/PKI adalah gerakan pengkhianatan yang dilakukan oleh PKI untuk merebut kekuasaan dan mengganti dasar negara Pancasila dengan ideologi komunis. Untuk mencapai tujuannya tersebut. PKI tidak segan-segan menghalalkan segala cara seperti menculik dan membunuh para perwira tinggi AD.
Prolog dan Persiapan G30SPKI
PKI di bawah pimpinan D.N Aidit, telah melakukan gerakan-gerakan untuk memperkuat diri. Untuk itu, PKI telah mengambil beberapa tindakan atau kegiatan.
- PKI mendukung dan mengirim sukarelawan saat berkonfrontasi dengan Malaysia.
- PKI telah melakukan aksi sepihak dengan membagi-bagikan tanah kepada petani.
- Merekrut kekuatan ABRI dengan menanamkan ideologi komunis dikalangan anggota ABRI.
- Terus berusaha memojokkan dan menghancurkan lawan-lawan polotiknya. Oleh karena itu, PKI mendorong dan sangat mendukung pembubaran Masyumi, PSI, dan Murba.
- Mengusulkan untuk membentuk Angkatan ke – 5, yakni dengan mempersenjatai kaum buruh tani.
- Melatih sekitar 3.000 anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani. Latihan dipusatkan di Lubang Buaya.
- Menyebarkan isu adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta, PKI menyebabkan fitnah dan isu bahwa Dewan Jenderal akan melancarkan kudeta kepada pemerintah. Pihak TNI- AD, menolak tuduhan PKI. Di katakan oleh TNI-AD bahwa yang ada adalah Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi ( Wanjakti ) Angkatan Darat. Wanjakti itu bertugas untuk memberikan saran kepada Men/ Pangad tentang kenaikan jabatan dan kepangkatan perwira tinggi AD . Dengan isu-isu yang dilontarkan PKI itu, TNI balik menuduh bahwa PKI akan melakukan perebutan kekuasaan.
Pelaksanaan Gerakan G.30. September 1965
Di- tengah-tengah kecurigaan dan menanjamnya konflik antara TNI-AD dan PKI, terjadi peristiwa yang sangat mencekam. Sekelompok pasukan yang ber intikan Batalion Pengawal Utama Cakrabirawa di bawah pimpinan Letnal Kolonel Untung, melakukan aksi di Jakarta. Aksi dimuali dari daerah sekitar Bandar Udara Halim Perdana Kusumah pada tengah malam tanggal 30 September 1965.
Gerakan itu dikenal dengan Gerakan Tigapuluh September atau sering di sebut Gestapu. Nama ini mengingatkan nama Gestapo, yakni pasukan rahasia Hitler yang terkenal berani dan kejam. Ternyata gerakan ini juga bertindak kejam. Mereka menculik dan membunuh para perwira TNI-AD, Jenderal Ahmad Yani dan Brigader Jenderal D.I Panjaitan berhasil ditembak di rumahnya, sedangkan yang lain disiksa dan dibunuh. Setelah itu, jasad para perwira tinggi tersebut dimasukkan kedalam sumur tua yang disebut Lubang Buaya, Jakarta.
Adapun beberapa perwira TNI-AD yang diculik itu ialah :
- Letnan Jenderal Ahmad Yani, Men/ Pangad
- Mayor Jenderal R. Suprapto, Deputi II Men/ Pangad
- Mayor Jenderal Haryono M.T, Deputi III Men/ Pangad
- Mayor Jenderal S. Parman, Asisten I Men/ Pangad
- Brigadir Jenderal D.I Panjaitan , Asisiten IV Men/ Pangad
- Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal TNI- AD
- Lettu Pierre Tendean , Ajudan Jenderal A. H. Nasution.
Sementara itu, usaha penculikan terhadap diri Jenderal A.H Nasution gagal, tetapi ajudannya, Lettu Pierre Tendean berhasil diculik dan dibunuh di Lubang Buaya . Bahkan putri tercinta A.H. Nasution , Ade Irma Suryani yang baru berumur 5 tahun juga menjadi korban keganasan para penculik PKI . Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun, juga gugur dalam melawan gerombolan penculik yang sedang memasuki halaman rumah Leimena. Di Yogyakarta kaum pemberontak juga telah menculik Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono. Kemudian ke sepuluh perwira diatas oleh pemerintah Indonesia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi.
Di samping menyiksa dan membunuh para perwira AD, kekuatan G.30 S/ PKI juga berhasil menguasai gedung RRI pusat kantor telekomunikasi. Dalam siarannyanya tanggal 1 Oktober 1965, melalui RRI pemimpin pemberontakan G-30.S / PKI Letkol Untung menyatakan telah berhasil mengambil tindakan tegas terhadap Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta pada pemerintah. Waktu itu, PKI menyatakan berdirinya Dewan Revolusi. Dewan Revolusi selanjutnya bertindak sebagai pemegang kekuasaan dan keamanan negara. Sebagai ketua Dewan Revolusi adalah Letnan Kolonel Untung dan wakilnya, Brigjen Suparjo.
Upaya Penumpasan G.30. S / PKI
Melihat keadaan yang cukup gawat itu maka Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Kostrad ( Komando Strategis Angkatan Darat ), segera melakukan koprdinasi dan mengambil tindakan tegas. Mayjen Soeharto segera memerintahkan pasukan dari esimen Para Komando Angkatan Darat ( RPKAD ) di bawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, untuk mengamankan keadaan. Pasukan RPKAD diberi tanggung jawab untuk melakukan penumpasan terhadap G – 30. S / PKI.
Dalam waktu singkat pasukan Siswo Edhie Wibowo berhasil merebut RRI. Kemudian tanggal 1 Oktober 1965 malam Mayjen Soeharto mengeluarkan pengumuman melalui RRI. Isi pengumuman itu, antara lain menegaskan bahwa G-30.S /PKI adal;ah pemberontakan dan Presiden Soekarno dalam keadaan selamat. Oleh karena itu, rakyat diminta tenang tetapi tetap waspada.
Tanggal 1 Oktober 1965, keadaan Jakarta sudah daopat dikendalikan Pangkalan Halim Perdana Kusumah yang merupakan markas G-30. S/ PKI dapat dikuasai oleh pasukan RPKAD. Begitu juga , Lubang Buaya yang merupakan daerah pertahanan dan tempat penyiksaan para perwira TNI- AD dapat di kuasai. Tanggal 2 Oktober 1965, jenazah-jenazah para perwira TNI-AD yang dibunuh berhasil ditemukan di sumur tua di daerah Lubang Buaya. Pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan hari ABRI, jenazah para perwira Angkatan Darat dimakamkan di tanam makam pahlawan Kalibata.
Sementara itu , jenazah para korban keganasan G-30. S / PKI di Yogyakarta, yakni Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono yang diculik oleh para pemberontak baru ditemukan di Kentungan, tanggal 19 Oktober 1965. Keduanya kemudian dimakamkan di taman Makam Pahlawan Semaki.
Di pihak lain, beberapa gembong G-30. S / PKI berhasil meloloskan diri ke berbagai daerah. Namun, usaha penumpasan dan penangkapan terus dilakukan baik di Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta , maupun Jawa Timur. Dalam operasi penumpasan dan pengkapan itu, pada tanggal 9 Oktober 1965, telah berhasil ditangkap Kolonel Latif, bekas Komando Brigade Infanteri / Kodam V Jaya di Jakarta.
Kemudiasn tanggal 11 Oktober 1965, Kolonel Untung tertangkap di Tegal Jawa Tengah, sedangkan D.N. Aidit yang menjadi pucuk pimpinan PKI tertangkap pada tanggal 22 November 1965 di Surakarta. Dua hari kemudian terbetik barita bahwa Aidit, telah ditembak mati. Di samping itu, masih banyak tokoh PKI lain yang tertangkap, sepwerti Nyono, Sudisman, dan Kolonel Sakirman. Para tokoh PKI yang tertangkap itu segera diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa ( Mahmillub). Dengan demikian, G- 30. S / PKI akhirnya telah berhasil ditumpas.
Konflik – Konflik Internal Lainnya
Selain tragedi Nasional seperti yang telah di uraiakan di atas, ternyata gangguan stabilits nasional masih muncul di berbagai daerah. Gangguan ini terutama terjadi karena konflik lokal antara etnis satu dan etnis yang lain, agama satu dan agama yang lain, atau konflik poltik yang mencuat setelah runtuhnya Orde Baru.
Sejak tahun 1998, sampai tahun 2001 di Indonesia terjasdi berbagai kasus kekerasan dan kerusuhan sosial, seperti kasus kerusuhan Mei 1988, kerusuhan sosial di Sambas, Ambon, Poso,, dan Sampit. Konflik sosial bernuansa suku, agama, ras, dan antar kepercayaan ( SARA ) tersebut menunjukkan gejala terjadinya kekerasan antar masyarakat. Dampak berbagai peristiwa tersebut adalah timbulnya bencana kemanusian berupa hilangnya nyawa, harta benda, timbulnya gelombang pengungsian, dan hancurnya kerukunan dan kesatuan masyarakat.
Kerusuhan Mei 1998
Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk rasa mahasiswa di Universitas Trisakti telah terjadi bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan yang mengakibatkan 4 (empat) orang mahasiswa tewas tertembak, yaitu Elang Mulya Lesmana, Hafhidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Selain itu, puluhan mahasiswa dan warga lainnya mengalami luka-luka. Kematian ke empat mahasiswa Trisakti tweersebut teryata tidak menyurutkan aksi mahasisiwa di seluruh Indonesia. Bahkan kematian empat Pahlawan Reformasi itu zsemakin mengobarkan semangat seluruh mahasiswa di seluruh Indonesia yang didukung oleh masyarakat untuk terus menyuarakan tuntutannya supaya Presiden Soeharto mengundurkan diri dari presiden.
Tragedi Trisakti tersebut membuat masyarakat bersduka dan marah. Kejadian itu memicu terjadinya kerusuhan massa pada tanggal 13- 14 Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya. Kerusuhan itu mengakibatkan lumpuhnya kegiatan perekonomian masyarakat. Banyak pusat perbelanjaan di jarah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab . Beratus-ratus pertokoan menjadi amukan si jago merah. Dalam peristiwa tersebut banyak jatuh korban jiwa akibat kebakaran sebanyak 1.000 orang. Kerusuhan juga terjadi di Surakarta , dimana bangunan-bangunan dan pertokoan yang diduga sebagai hasil KKN di bakar dan dijarah. Dalam kerusuhan di Solo banyak yang jatuh korban jiwa akibat pembakaran di dalam bangunan pertokoan.
Kerusuhan di Sambas
Kerusuhan di Sambas, Kalimantan Barat ini terjadi karena konflik antar suku, yakni etnis Madura dengan etnis Melayu sambas. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1997. Akan tetapi, kalau diruntut secara historis peristiwa kerusuhan semacam itu sudah sering terjadi sejak tahun 1962, 1963, 1964, 1968, 1972, 1983, 1997, hingga 1998.
Kondisi sosial di Sambas yang begitu heterogen memang sangat rawan untuk terjadinya konflik sosial. Penduduk kabupaten Sambas terdiri atas berbagai etni, seperti Melayu, Dayak, Jawa, Bugis, Sunda, Batak, Cina, Banjar, Ambon, Minangkabau, dan Madura. Kondisi sosial inilah yang dapat melahirkan konflik.
Kerusuhan Sambas terjadi pada 1998 sering dikenal dengan peristiwa Sambas. Peristiwa Sambas adalah konflik antara etnis Melayu Sambas dengan etnis Madura. Peristiwa kerusuhan ini sebenarnya berawal dari penganiayaan seorang Madura bernama Hasan karena tertangkap ketika hendak mencuri di rumah Ahmad bin Taju’in. Hasan dipukuli kemudian diserahkan kepada polisi dan dirawat di puskesmas. Esoknya, Hasan dipulangkan ke desanya. Hasan kemudian melaporkan pemukulan ini kepada anggota keluarga dan tetangganya. Tanpa mengecek kebenaran laporan Hasan itu, orang-orang Madura berusaha menuntut balas.
Pada tanggal 19 januari 1998 bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri sekitar 200 orang Madura menyerang penduduk Desa Parit Setia. Penyerangan ini mengakibatkan tiga orang Melayu meninggal dan lainnya luka parah. Peristiwa penyerangan ini segera menyebar luas ke berbagai daerah. Orang-orang Melayu Sambas pun mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Untuk meredam suasana, Muspika mempertemukan para pemuka masyarakat dari kedua belah pihak untuk berdamai. Dalam perdamaian itu disepakati bahwa para pelaku penyerangan diadili sesuai dengan dilanggarnya. Orang-orang Madura yang merasa lebih kuat kemudian meneror orang-orang Melayu Sambas. Bahkan orang-orang Madura membunuh seorang kernet dari masyarakat Melayu. Kerusuhan pun mulai berkecambuk . pemerintah segera turun tangan untuk mengatasi kerusuhan tersebut.
Upaya untuk menyelesaikan konflik Sambas dilakukan oleh pemerintah bersama tokoh kedua pihak yang bertikai. Pada tanggal 26 April 1999 pemerintah bersama wakil dari pihak suku Dayak, Melayu, Tionghoa, dan Madura bertemu untuk melakukan kesepakatan damai dengan membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat. Dalam pertemuan tersebut,disepakati bahwa konflik tersebut tidak dipicu oleh pertikaian antarsuku, tetapi merupakan pertikaian individu.
Konflik Maluku
Konflik di Maluku muncul pada awal tahun 1999, konflik ini lebih terlihat sebagai konflik agama.
- Latar Belakang
Kalau dicermati secara historis, sebab-sebab konflik di Maluku dapat diruntut dari kondisi sosial sejak zaman kolonial. Sejak abad ke-17 VOC telah mengambil kebijakan memisahkan antara penduduk yang beragama Islam dan Kristen. Orang-orang Islam tidak boleh pindah ke pemukiman orang Kristen atau sebaliknya. Oleh karena itu, ada pemukiman blok orang-orang Islam dan pemukiman orang-orang Kristen.
Kebijakan pemisahan ini ternyata juga berakibat pada kehidupan masyarakat. Salah satu bidang yang penting adalah bidang pendidikan. Penyelenggara pendidikan ini terkait dengan kegiatan gereja dang pengembangan ajaran Kristen. Tentunya hal ini tidak dapat diikuti oleh penduduk Muslim. Mulai abad ke-18 sudah beberapa sekolah yang diasuh oleh guru-guru lokal. Kegiatan pendidikan makin berkembang. Orang-orang Kristen menjadi kelompok terpelajar sedang umat Islam makin tertinggal. Orang-orang Kristen umumnya menjadi pegawai pemerintah. Kedudukan ini makin memperkuat orang-orang Kristen baik secara sosial maupun ekonomi.
Perubahan mulai terjadi setelah masa kemerdekaan dan terutama masa Orde Baru. Dengan berkembangnya perkebunan, pertambangan dan industri , kehutanan yang tersebar di Maluku telah mengangkat kondisi perekonomian orang-orang Islam. Mereka umumnya hidup dengan berdagang.
Kebijakan Belanda yang kemudian melahirkan dua kelompok sosial ini tentu tidak menguntungkan bagi pemerintah Indonesia. Hal itu disebabkan sewaktu-waktu kondisi tersebut dapat menimbulkan konflik.
- Munculnya Konflik.
Konflik di maluku ini terjadi beberapa kali atau tahapan :
- Tahap Pertama : Pada tanggal 19 Januari 1999, telah terjadi pertikaian antara seorang sopir angkot dan preman di terminal Batumerah. Peristiwa meluas menjadi konflik antara kelompok Islam dan kelompok Kristen. Ke esokkan harinya tidak diketahui sebabnya terjadi kebakaran diberbagai sudut Kota Ambon. Konsentrasi massa terjadi. Kelompok Kristen berkumpul di gereja-gereja, terutama di gereja Maranatha. Sementara itu, kelompok Islam berkumpul di-masjid-masjid , terutama di Masjid Al- Fatah. Orang – orang Kristen memakai ikat kepala yang berwarna merah, dan orang-orang Islam memakai ikat kepala dengan berwarna putih Pasar tempat berdagang orang-orang Bugis, Makassar, dan Buton diserang dan dibakar. Senjata yang digunakan tahap pertama ini adalah senjata tradisional , seperti parang dan tombak.
- Tahap Kedua : Konflik tahap kedua ini berawal pada tanggal 24 Juli 1999. Pada hari itu sejumlah pusat perekonomian di Jl. A.J. Patty, dibakar. Kedua belah pihak telah menggunakan senjata api rakita. Jelas hal ini membuat suasana makin mencekam. Konflik ini meluas sampai ke Pulau Seram. Pada tanggal 18 dan 19 Agustus 1999, sejumlah Negeri Islam menyerang negeri Piru yang mayoritas berpenduduk Kristen. Konflik besar-besaran terjadi di Kota Ambon pada tanggal 26 – 30 November 1999. Pada tanggal 12 Desember 199, Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati berkunjung ke Ambon, untuk menenangkan masyarakat menjelang hari raya umat Islam dan juga hari raya umat Kristen. Demikian konflik sejenis terjadi beberapa kali, ketiga dan ke empat. Sudah tentu konflik ini sangat mengganggu stabilitas nasional.
Konflik di Sampit
Selain di Sambas, konflik antara etnis Madura dan Dayak serta Melayu juga terjadi di Kabupaten Sampit, Kalimantan Tengah, pada tahun 2001. Konflik yang berawal pertikaian perorangan yang berkembang menjadi konflik antar retnik pada tanggal 18 Februari 2001, tersebut menimbulkan ratusan korban jiwa di kedua belah pihak. Selain itu, konflikk tersebut juga menyebabkan terjadinya pengungsian 16.000 warga etnik Madura yang kembali ke Pulau Madura pada bulan Februari 2001.
Kerusuhan di Poso
Konflik seperti yang terjadi di Maluku ternyata juga terjadi di Poso. Konflik Poso ini juga berkembang menjadi konflik etnis dan agama .
Struktur sosial masayarakat Poso yang beragam sangat rawan konflik Penduduk Kabupaten Poso terdiri atas dua kelompok, yakni kelompok suku asli dan kelompok suku pendatang.Kelompok suku asli terdiri atas dua kelompok :
Struktur sosial masayarakat Poso yang beragam sangat rawan konflik Penduduk Kabupaten Poso terdiri atas dua kelompok, yakni kelompok suku asli dan kelompok suku pendatang.Kelompok suku asli terdiri atas dua kelompok :
- Kelompok yang secara turun- temurun lahir dan dibesarkan di Poso. Mereka ini adalah suku Pamora.
- Orang- orang dari Sulawesi namun leluhurnya dari Poso. Mereka ini adalah suku Kaili dan suku Mori.
Kelompok pendatang terdiri atas orang-orang Bugis, Makassar ( mayoritas ), dan para transmigran dari Jawa, Nusa Tenggara, Buton, Muna dan Toraja.
Dilihat dari sudut agamanya, kelompok-kelompok tersebut dapat dibedakan agama Islam dan agam Kristen. Agama Islam di anut suku Kaili, Bugis, Makassar, Muna , dan Buton. Agama Kristen dianut oleh suku Pamora, Mori ( Toraja ), sementara transmigran dari Jawa dan Nusa Tenggara menganut agama yang berbeda, yaitu Islam, Kristen, dan Hindu. Dengan demikian, di dalam masayarakat Poso secara garis besar juga terdapat dua kelompok besar, yakni Kristen dan Isalam. Kondisi yang beragam ini kalau tidak dikelola secara baik juga menjadi potensi terjadinya konflik.
Kerusuhan di Poso sebenarnya sudah terjadi pada akhir Desember 1998. Kerusuhan ini dipicu oleh sentimen agama. Kerusuhan ini bermulai dari peristiwa penyerangan sekelompok pemuda Kristen terhadap beberapa remaja yang tengah tidur menunggu waktu sahur. Ketegangan tersebut berkembang menjadi konflik ini juga ditunggangi oleh kepentingan politik, yakni dikaitkan dengan isu pemilihan bupati setempat. Situasi kehidupan bermasayarakat di Poso menjadi tidak konduksif.
Ketegangan terus menyelimuti kehidupan masyarakat. Bulan April tahun 2000 kembali terjadi kerusuhan yang juga dilatarbelakangi moleh konflik agama. Kerusuhan ini berawal dari adanya perkelahian antara dua kelompok pemuda Islam dan pemuda Kristen. Bahkan pernah dilaporkan oleh Harian Republika, bahwa ratusan santri dari Pondok Pesantren Wali Songo di Desa Togolu. Kecamatan Lage Poso, lenyap. Di duga peristiwa ini juga ada kaitannya dengan konflik agama yang sedang terjadi.
Pada tanggal 26 November sampai tanggal 2 Desember 2000, terjadi bentrokan yang melibatkan kelompok yang tidak di kenal. Dalam peristiwa tersebut puluhan rumah hancur dan ribuan warga mengungsi ke daerah yang lebih aman.
Upaya penyelesaian konflik Poso di lakukan pada masa pemerintahan Presiden Megawati dengan diadakannya Konfrensi Malino pada tanggal 19-20 Desember 2001. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh dua kelompok yang bertikai dengan difasilitasi oleh Menko Kesra Yusuf Kalla, yang berhasil dicapai kesepakatan damai kedua belah pihak di Poso dan disepakatinya 10 butir kesepakatan. Selanjutnya, untuk meredam konflik Poso tersebut pemerintah melakukan razia senjata yang digunakan dua kelompok yang bertikai. Setelah tercapainya Kesepakatan Malino di Poso, konflik Poso berangsur-angsur mereda sehingga rakyat bisa merasa kondisi, keamanan yang semakin konduksif serta dilaksanakannya rehabitasi berbagai sarana dan prasarana yang rusak akibat terjadinya konflik yang bernuansa SARA tersebut.
Berbagai konflik yang bernuansa SARA, tersebut menimbulakn dampak berupa terjadinya gelombang pengungsian warga korban konflik di daerah yang bertikai, seperti Ambon, Poso, Sambas dan Sampit. Sejak terjadinya konflik sosial pada tahun 1997 tercatat sejumlah 1,2 juta warga Indonesia yang menjadi pengungsi di negerinya sendiri akibat pertikaian antar kelompok. Selanjutnya, para pengungsi tersebut ditampung di 20 tempat pengungsian yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah pengungsi terbesar berada di Maluku sebanyak 300.000 orang dan 125.000 pengungsi di Maluku Utara. Selain itu, masih terdapat para pengungsi korban konflik Sambas dan Sampit yang terpaksa kembali ke kampung halamannya di Pulau Madura sejumlah 25.000 jiwa. Kondisi para pengungsi tersebut ditempat pengungsian sangat memperhatinkan karena buruknya kondisi sanitasi, kurangnya sarana kesehatan, minimnya sarana pendidikan, dan merebaknya wabah penyakit, seperti diare, infeksi saluran pernafasan, tifus, penyakit kulit, dan gejala kurang gizi. Meskipun pemerintah telah berusaha untuk mengatasi masalah pengungsi tersebut, namun mengingat besarnya jumlah pengungsi dan keterbatasan dana yang dimilki oleh pemerintah, sehingga tidak semua pengungsi menerima bantuan berupa fasilitas dan jaminan hidup yang memadai.
Demikianlah sejarah peristiwa tragedi nasional yang pernahh terjadi di negeri kita yang tercinta ini, semoga dengan cerita di atas kita bisa mengetahui betapa pentingnya persatuan untuk negara kita dan semoga dengan penjelasan di atas juga bisa merubahh pola pikir bangsa Indonesia untuk menjadi negara yang sejahtera dan jauh dari konflik-konflik antar sesama rakyat Indonesia.
Referensi Saya : Sardiman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar