Kamis, 11 Juni 2015

Menelusuri Asal Kata "Madiun" di Sendang dan Masjid Kuncen


Hai sobat... Pada post pertama admin kali ini, kami akan membahas objek wisata sejarah berupa masjid kuno kuncen madiun sekaligus sendang madiun yang konon katanya merupakan asal muasal kata "madiun". Letak sendang ini satu kompleks dengan Masjid Kuno Kuncen, ini sangat strategis untuk dijadikan wisata religius karena banyak mengandung sejarah dan peninggalan-peninggalan yang perlu dilestarikan. Okee.. tanpa basa basi langsung saja kita simak kisahnya :)

 Pada tahun 1568 terjadilah sejarah baru di Kesultanan Demak yang berdampak di daerah Madiun dan sekitarnya. Setelah berakhirnya perang saudara yang dimenangkan oleh Mas Karebet atau Jaka Tingkir yang selanjutnya disebut Hadiwijaya, dengan restu para wali menggantikan kedudukan mertuanya Sultan Trenggono sebagai sultan, tetapi tidak mau berkedudukan di Demak melainkan memindahkan pusat pemerintahannya ke Pajang. Putra Sultan Trenggono lainnya atau adik ipar Sultan Hadiwijaya yang bernama Pangeran Timur oleh Sunan Bonang yang mewakili para wali diangkat menjadi Bupati Madiun pada tanggal 18 Juli 1568, yang selanjutnya disebut panembahan Rama atau Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno yang memerintah pada tahun 1568 – 1586. Pada tahun 1575 dengan berbagai pertimbangan  Bupati Pangeran Timur memindahkan pusat pemerintahan dari utara Kelurahan Sogaten ke selatan menuju Keluran Kuncen dulu Wonorejo. Pangeran Timur selaku Bupati disamping berkewajiban mengendalikan jalannya pemerintahan, juga membawa misi penyebaran agama Islam. Pembangunan agama identik atau tidak lepas dengan pembangunan tempat ibadah yaitu masjid. Dengan demikian patut diduga bahwa masjid Kuno Kuncen atau disebut Masjid Nur Hidayatullah pada zaman Bupati Pangeran Timur memerintah Kabupaten Madiun yang berpusat di sekitar Kelurahan Kuncen dan masjid tersebut berdiri di Kuncen setelah tahun 1575 atau pada akhir abad XVI
 

Status wilayah Wonorejo sebagai tanah makam dan juga ada masjid, maka Kyai yang merawat areal tersebut juga bertindak sebagai kepala desa, dan diberi kebebasan menguasai daerah sekitar area makam dan masjid. Kyai Grubug merupakan guru dalam ilmu agama Islam, dan Kyai Grubug  inilah yang pertama kali berkuasa di Desa Perdikan Kuncen ini yang juga mengelola masjid maupun makam, hingga sekarang ada empat belas Kyai yang pernah berkuasa di Desa perdikan Kuncen beserta mengurusi masjid dan makam, diantaranya:
1.                  Kyai Grubug
2.                  Kyai Semin I
3.                  Kyai Semin II
4.                  Kyai Semin III
5.                  Kyai Semin IV
6.                  Kyai Djodo
7.                  Kyai Muhammad Ngarib
8.                  Kyai Kasan Basari
9.                  Kyai Muhammad Mardo
10.              Kyai Muhammad Mardi
11.              Kyai Darsono
12.              Kyai Sutopo
13.              Kyai Karsono
14.              Kyai Kentjono

Sebenarnya masjid yang ada di Kelurahan Kuncen itu belum ada nama sama sekali, karena tidak adanya sumber tertulis mengenai nama masjid tersebut. Selanjutnya dari tahun ke tahun nama masjid kuno yang terdapat di Kelurahan Kuncen tersebut dahulu dikenal dengan nama Masjid Kuno Kuncen, kerana keberadaan masjid tersebut berdekatan dengan makam yang terdapat juru kunci kemudian dinamakan kuncen dan juga disesuaikan dengan nama Kelurahan Kuncen karena keberadaan masjid berada di Kelurahan Kuncen, maka dari itu masjid kuno ini dikenal dengan nama Masjid Kuno Kuncen. Selanjutnya pada tahun 1970 warga Kuncen bersepakat merubah nama masjid sebelumnya Masjid Kuno Kuncen diubah nama menjadi Masjid Nur Hidayatullah, walaupun sudah dinamakan Masjid Nur Hidayatullah akan tetapi nama yang masih dikenal oleh warga Madiun sampai sekarang adalah Masjid Kuno Kuncen.

Masjid Kuno Kuncen atau Masjid Nur Hidayatulloh 
Merupakan masjid tertua yang ada di kelurahan Kuncen, kota Madiun, Provinsi Jawa Timur. Masjid ini mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi, selain karena bangunan masjid serta artefaknya, juga terdapat peninggalan-peninggalan kerajaan terdahulu, terdapat makam para bupati Madiun, terdapat Sendang dan pohon besar yang merupakan asal usul Kota Madiun.

Masjid ini dibangun oleh Kiai Ageng Misbach atau Kiai Donopuro tahun 1754. Masjid yang semula bernama Masjid Donopuro ini didirikan di tanah perdikan (daerah bebas pajak) Kerajaan Mataram. Wilayah ini diberikan kepada Kanjeng Pangeran Rangga Prawirodirjo I yang saat itu menjabat bupati wedana timur (Manca Negari Timur), Kerajaan Mataram di sebelah timur Gunung Lawu. Selanjutnya, tanah perdikan itu diserahkan kepada Kanjeng Raden Ngabehi Kiai Ageng Misbach yang saat itu menjadi penasihat Kanjeng Pengeran Rangga Prawirodirjo I.

Makam Kuncen Madiun
 Beberapa peninggalan Kadipaten/Kabupaten Madiun yang salah satunya dapat dilihat di Kelurahan Kuncen, dimana terdapat makam Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno, Bupati Mangkunegara I, Patih Wonosari dan para Bupati Madiun lainnya yang merupakan pahlawan-pahlawan pendiri Kota Madiun, selain makam para bupati, Masjid Tertua di Madiun masih kokoh menjadi saksi, yaitu Masjid Nur Hidayatullah, artefak-artefak disekeliling masjid, serta sendang (tempat pemandian) keramat. 
Sendang Tundung Mediun

 Asal Mula Nama Madiun
Pada masa pemerintahan Ki Ageng Reksogati dan Pangeran Timur nama Madiun belum ada, daerah ini dulu disebut Kadipaten Puroboyo. Asal kata Madiun mempunyai banyak versi, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang, diantaranya yaitu : gabungan dari : kata “medi” (hantu) dan “ayun-ayun” (berayunan), yaitu dikisahkan ketika Ki Mpu Umyang/Ki Sura bersemedi untuk membuat sebilah keris di sendang panguripan (sendang amerta) di Wonosari (Kuncen, sekarang) diganggu gendruwo/hantu yang berayun-ayun di pinggir sendang, maka keris tersebut diberi nama ”Tundung Mediun”.

Kemudian cerita lain berasal dari “Mbedi” (sendang) “ayun-ayunan” (perang tanding) yaitu perang antara Prajurit Mediun yang dipimpin oleh Retno Djumilah di sekitar sendang.  Kata ”Mbediun” sendiri sampai sekarang masih lazim diucapkan oleh masyarakat terutama di daerah Kecamatan Kare, Madiun. Mereka mengucapkan Mbediun untuk menyebutkan Madiun.

Versi berikutnya adalah Madya-ayun yaitu Madya (tengah) ayun (depan).  Pangeran Timur adalah adik ipar dan juga salah satu bangsawaan Demak yang sangat di hormati oleh Sultan Hadiwijoyo di Kasultanan Pajang. Pada waktu acara pisowanan beliau selalu duduk sejajar dengan Sultan Hadiwijoyo di Madya ayun (tengah depan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar