Korea Utara adalah salah satu dari sedikit negara komunis yang masih tersisa di dunia. Nama resminya adalah Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK). Negara ini terletak di bagian utara Semenanjung Korea. Laut Timur (atau Laut Jepang) berbatasan dengan Korut di timur, Laut Kuning di barat, Korea Selatan di selatan, dan China serta Rusia di utara. Perbatasan Korea Utara dengan China panjang dan berpegunungan. Perbatasan dengan Rusia sangat sempit, tapi menjadi jalur dengan sekutu yang penting.
Korea terbagi setelah Perang Dunia II (1939-1945). Pada saat itu, Amerika Serikat dan kemudian sekutunya, Uni Soviet, secara temporer membagi semenanjung utara dan selatan. Setelah tiga tahun, dua sektor itu tidak bisa menemukan cara untuk membentuk satu pemerintah. Mereka membentuk dua negara terpisah, masing-masing mengaku sebagai pemerintah tunggal dan sah Korea.
Sampai saat ini, Korea Utara masih berseteru dengan negara tetangga serumpunnya yaitu Korea Selatan. Tak pelak, mata dunia kini tertuju pada Korea Utara yang selama ini tertutup dari dunia luar. Nah, berikut ini 7 budaya aneh di Korea Utara
Seperti dikutip dari Live Science, berikut 7 budaya aneh di Korea Utara:
1. Bangsa yang Terisolasi dan Mandiri
Di masa modern ini, komunikasi dan globalisasi sudah menembus batas-batas negara, Korut masih berdiri sendiri sebagai negara yang terisolasi. 24 Juta warga Korut hidup dalam pemerintahan diktator yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Korut yang awalnya bersatu dengan Korsel dan dijajah Jepang dalam Perang Dunia II, terpecah saat Jepang kalah dan menyerah. Perang Dingin antara dua kekuatan politik dunia saat itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet membuat Korea terbagi dua, AS mengontrol bagian selatan dan Uni Soviet mengontrol bagian utara.
PBB mencoba melakukan reunifikasi namun gagal pada 1948, dan dua negara itu menjadi terpecah permanen. Kemudian Presiden Korut pertama Kim Il Sung, mendeklarasikan kebijakan 'bergantung pada diri sendiri' atau kemandirian. Kim Il Sung menutup akses diplomatik dan ekonomi negara itu dari seluruh dunia.
Filosofi ini dikenal dengan istilah 'juche' atau yang artinya manusia adalah penguasa segala sesuatu dan menentukan segalanya. Ideologi ini mengharuskan warga Korut mandiri dan bergantung kepada mereka sendiri, termasuk mengelola kemerdekaan ekonomi dan politik, termasuk saat mengalami bencana kelaparan pada tahun 1990-an. Tujuannya, untuk menciptakan sistem pertahanan yang kuat.
2. Pemimpin yang Penuh Mitos
Dinasti yang memimpin Korut selalu mengidentikkan diri dengan hal-hal yang berbau mitos dan supranatural. Bapak pendiri bangsa Korut, Kim Il Sung dikenal sebagai 'matahari' dan menyatakan bisa mengendalikan cuaca.
Kemudian, ulang tahun Kim Il Sung, serta penggantinya yang juga putranya Kim Jong Il, selalu dijadikan hari libur nasional. Jasad Kim Il Sung juga diawetkan dan masih tersimpan di Pyongyang, Korut.
Mitos yang melekat pada Kim Jong Il, kelahirannya dielu-elukan sebagai 'kiriman surga' oleh media propaganda Korut. Media propaganda itu juga menyebutkan Jong Il bisa mencetak angka sempurna 300, saat pertama kali mencoba bowling. Il Sung juga dikatakan bisa mencetak 5 kali 'hole-in one' saat bermain golf. Saat kematiannya pada tahun 2011, disebutkan langit di Gunung Paektu yang dianggap suci, berwarna merah.
Pemimpin terkini, Kim Jong Un, disebut sebagai 'lahir dari surga' saat dia naik menjadi pemimpin menggantikan ayahnya. Nah, pada Desember 2012, media memberitakan ditemukan sarang Unicorn, hewan kendaraan Tongmyong, pendiri Kerajaan Korea kuno. Hal ini bukan karena Korut percaya pada hewan yang selama ini dianggap fantasi itu, melainkan menunjukkan legitimasi Jong Un bahwa Korut adalah Korea yang sebenarnya.
3. Penjara Nasional
Dari 24 juta warga Korut, sekitar 154 ribu di antaranya hidup dalam penjara bak kamp konsentrasi. Ada 6 kamp yang dikelilingi pagar berlistrik, 2 di antaranya untuk rehabilitasi dan persiapan keluar kamp. Demikian perkiraan negara serumpunnya Korsel.
Shin Dong-hyuk, satu-satunya warga yang berhasil melarikan diri dari penjara dan keluar dari Korut membuat kesaksian yang dimuat dalam buku berjudul 'Escape from Camp 14'. Shin lahir di kamp itu karena kedua orang tuanya dipenjara setelah kakak laki-lakinya mencoba melarikan diri ke Korsel.
Penyiksaan, malnutrisi, kerja paksa dan eksekusi publik selalu menjadi cara hidup di kamp itu, yang salah satunya diketahui dari citra satelit. Menurut laporan Amnesti Internasional 2011, diperkirakan 40% warga kamp meninggal karena kelaparan dan kurang gizi.
4. Kehidupan Sosial & Propaganda
Karena begitu terisolasi, sulit membayangkan kehidupan sehari-hari warga Korut. Jurnalis Barbara Demick mewawancarai warga Korut yang melarikan diri ke Korsel dan dimuat dalam buku "Nothing to Envy: Ordinary Lives in North Korea" tahun 2009.
Dari pengakuan warga Korut, mereka mendeskripsikan bahwa kehidupan sosial sangat terikat kepada keluarga. Saat bencana kelaparan tahun 1990, generasi kakek-nenek yang kelaparan pertama kali mencoba menyisakan makanan ke anak-anaknya, dan seterusnya. Informasi yang diterima pun hanya propaganda pemerintah.
Tak heran, beberapa warga Korut yang berhasil keluar menyelundupkan DVD ke Korut agar warganya mengetahui dunia luar negaranya.
Saat ini, jurnalis asing yang diizinkan berkunjung namun diawasi ke Pyongyang telah boleh membawa HP 3G dan memungkinkan untuk mengambil gambar hidup keseharian di kota itu.
5. Pasar Gelap
Segala hal yang dilarang membuat banyaknya penyelundupan dan pasar gelap. Beberapa pasar gelap bahkan mengatur bagaimana memindahkan barang ke perbatasan Korut melalui Cina, seperti makanan dan bahan mentah.
Penyelundupan DVD Korsel juga marak, dan itu dilawan oleh rezim Korut yang mengatakan pada warganya bahwa Korsel lebih buruk dari mereka.
Meski komunis dan alat-alat produksi dikuasai negara, namun memiliki kendaraan diizinkan untuk personel militer dan PNS. Warga Korut dilarang bepergian jauh-jauh dan dibatasi. Namun tahun 1990-an, saat institusi militer dan elit partai korup merajai, kondisi ini dimanfaatkan.
Anggota militer dan PNS membuat aturan kendaraan harus terdaftar, kemudian merekrut sopir pribadi untuk mengemudikan kendaraannya sebagai angkutan bagi warga atau taksi gelap. Nah, hal ini menjadi salah satu faktor yang bisa melancarkan penyelundupan.
6. Akses Internet Terbatas
Akses internet di negara ini hampir tak bisa diakses. Akses internet bisa bila sudah mendapatkan izin dari pemerintah. Warga Korut yang memiliki komputer pun, yang biasanya hidup di kota besar, hanya bisa mengakses situs Kwangmyong, jaringan domestik yang tertutup.
Namun tahun ini, jurnalis yang ke Korut dan harus menyalakan HP 3G mereka bisa mengakses internet. Ya, hanya untuk pengunjung dari luar negeri saja.
7. Adaptasi yang Susah
Dengan akses terbatas di dunia nyata maupun maya dari dunia luar, tak heran warga Korut harus berjuang untuk menyesuaikan diri. Banyak warga Korut paranoid, kelaparan dan banyak yang tidak tahu sejarah dunia di luar Korut kecuali propaganda pemerintah.
"Pendidikan di Korut sia-sia untuk hidup di Korsel," ujar Kepala Sekolah Berasrama untuk Pengungsi Korut, Gwak Jong-moon dalam buku "Escape from Camp 14".
"Ketika Anda terlalu lapar, Anda tidak akan belajar, dan guru tidak akan mengajar. Banyak siswa kami yang telah bersembunyi di Cina bertahun-tahun tanpa punya akses ke sekolah. Anak kecil di Korut, mereka terbiasa memakan kulit kayu dan berpikir itu normal," imbuh Gwak.
Angka bunuh diri pengungsi Korut di Korsel 2,5 kali lipat dari pada angka di Korsel sendiri.
Sumber: detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar