Nama Juwana ada beberapa versi, dari salah satu versi mengatakan berasal dari kata Jiwana, yang berasal dari kata bahasa Sansekerta, jiwa. Dengan demikian, perkataan Jiwana diduga adalah nama "Kahuripan" yang disansekertakan.
Pendapat lain mengatakan bahwa Juwana berasal dari kata druju dan wana. Druju adalah nama pohon, sementara wana berarti hutan.
Sejarah Kepulauan Indonesia umumnya dan Tanah Jawa khususnya, ditemukan dari beberapa sumber yang agak berlainan satu dengan yang lain.
Menurut salah satu sumber, diterangkan juga bahwa asal-usul penduduk Tanah Jawa memang sebagian dari Hindu dan sebagian pula dari Tiongkok.
Untuk membuktikan kebenarannya, kita dapat membedakan antara penduduk asli dikepulauan Indonesia umumnya terdiri dari dua type yaitu disatu fihak typenya Hindustania, kulitnya agak hitam jengat / sawo matang dengan matanya tidak sipit; tetapi dilain tempat tidak sedikit yang berkulit kuning langsat, matanya agak sipit, banyak mirip atau malah 100% seperti orang Tionghoa, hingga dalam masyrakat tidak jarang terjadi diantara orang Indonesia sendiri menyangka bahwa orang yang berhadapan dengan dirinya itu dikira orang Tionghoa. Hanya model pakaianya atau gigi pangur saja yang digunakan sebagai tanda guna membedakannya.
Pada zaman itu Tanah Jawa diselumbungi udara Animisme begitu rupa.
Banyak orang suka memuja apa yang dipandangnya suci, suka sekali prihatin untuk menjalani ilmu-ilmu gaib dan kuat bertapa yang mempunyai pengaruh begitu mujizad.Misalnya walaupun justru udara bersih, matahari bersinar terang gelang-gemilang di atas angkasa yang biru, tetapi tiba-tiba datang seorang yang telah dipuncak pertapaannya, setelah berdiri dibawahnya sinar matahari sambil mencakupkan kedua tangannya dan berdoa sambil kedua matanya dimeramkan dan mendongkakan kepalanya, maka tidak lama kemudian awan mendung sekoyong-koyong bergulung-gulung begitu tebal dan sebentar pula hujan turun dibarengi suara angin menderu dan suara petir menyambar-nyambar kian kemari, hingga seolah-olah dunia sedang kiamat.
Pada Masehi tahun 414, Fahian, perantau bansa Tionghoa yang termasyur, telah tiba di pulau Jawa ini bersama empat orang kawannya. Mereka selain menjadi orang-orang Tionghoa pertama menginjakkan kakinya di sini dan terus menurunkan keturunannya sehingga merupakan sebagian golongan Tionghoa peranakan yang sebagai bangsa Asing, kecuali bangsa Hindu yang pertama kali datang di pulau ini.
Sementara menurut fihak lain ada dikatakan, bahwa waktu pertama kali bangsa Hindu datang kemari telah melihat tetanaman Juwawut, semacam bahan makanan, juga dijual dipasar untuk bahan makanan burung perkutut piaraan, yang tumbuh begitu subur dan gemuk sekali dipulau ini, sehingga pulau ini dinamakan Juwawut dan penduduknya dinamakan Juwana.
Orang Tionghoa merubah kata “Juwana” menjadi “Wana” yang bukan saja menjadi kata lebih singkat, tetapi artinya lebih baik bagi orang Tionghoa umumnya dan golongan lain-lain yang mengerti huruf dan bahasa Tionghoa.Sebutan “Wana” terhadap penduduk Pulau Jawa khususnya dan kepulauan Indonesia umumnya memiliki arti : Tanah yang subur; tetumbuhan yang tumbuh dengan subur; dan kaya raya.
Sebutan “Wana” terhadap penduduk asli dari Tanah Jawa khususnya dan Indonesia umumnya itu adalah : Orang dari negeri yang tanahnya subur atau kaya.
Sementara bukti atas kebenaran bahwa penduduk asli dikepulauan ini disebut Juwana, adalah dengan adanya nama kota Juwana, suatu tempat di daerah Jawa Tengah terletak antara Pati – Rembang.
Menurut penuturan dalam zaman Dampoawang (Sam Poo Twa Lang) waktu ia sampai ditempat yang dimaksud diatas lalu menanyakan kepada seorang penduduk asli nama tempat tersebut, tetapi oleh penduduk setempat menyangka tamu yang datang menayakan kebangsaanya (maklum belum bisa bahasa Melayu yang sekarang disebut bahasa Indonesia serta jarang ketemu orang Asing), maka dijawablah “Juwana”.Oleh karena itu maka tempat tadi selanjutnya disebut Juwana hingga saat ini menjadi perkampungan Nelayan yang sukses di Kabupaten Pati.
WISATA JUWANA
Wisata kriya dan sejarah Juwana menawarkan sejuta pesona. Jika menyisir Pulau Jawa melalui Grote Postweg atau Jalan Raya Poros yang dibangun Daendels dengan tenaga pekerja rodi rakyat Indonesia, setelah Lasem dan Pati akan menemui kota ini.
Di bawah pemerintahan Belanda, Juwana merupakan pusat kota kawedanan (distrik). Mulai Januari 1902 dan saat ini, statusnya menjadi kecamatan, bagian dari Kabupaten Pati. Profil kota membentang dari tenggara ke barat laut, tegak lurus Sungai Juwana atau disebut juga Silugonggo.
Sayangnya, sebagai kota pelabuhan nama Juwana tenggelam di antara ketenaran kawasan pesisir utara Jawa Tengah lain seperti Semarang, Jepara, Rembang.
Pada abad ke-16, Juwana merupakan kota pelabuhan penting di Pulau Jawa. Orang-orang asing membeli hasil bumi dan menjualnya ke lain tempat. Opium adalah satu saksi betapa Juwana menjadi jalur pesisir utara nan penting. Henri-Louis Charles TeMechelen, inspektur Kepala Regi Opium & Asisten Residen Juwana tahun 1882, memperhitungkan bahwa satu dari 20 orang Jawa mengisap opium pada masa itu.
Maka inilah sebuah destinasi alternatif bagi Anda pecinta budaya, penikmat keriuhan pelabuhan, sampai pemerhati tradisi leluhur. Mari melanglang, melongok potensi kota ini.
1. Desa Bajomulyo dan Desa Growong Kidul
Merupakan salah satu sentra industri kuningan yang tersisa. Terdiri atas tiga kelompok usaha: industri kuningan, penyedia bahan baku (bahan rosok), dan penyedia jasa lain (pengemasan/pengiriman). Keahlian dasar sebagai perajin kecil adalah semua proses produksi dikerjakan sendiri. Umumnya mereka memproduksi engsel pintu, krom onderdil sepeda motor, aksesoris mebel, komponen hydrant, patung, dan aksesoris interior.
2. Alun-Alun Juwana
Lapangan yang dibangun Belanda dekat jalan raya Grote Postweg sebagai usaha menciptakan landmark kota.
3. Desa Bakaran Kulon dan Bakaran Wetan
Kedua desa adalah sentra batik. Perajin batik Bakaran yang terkenal. Motif batik beraliran tengahan, perpaduan corak pesisir yang berwarna-warni dan corak tengahan karena berasal dari kalangan kerajaan Majapahit. Selain motif kuno, kini ada corak kontemporer.
4. Klenteng Tjoe Tik Bio
Usia klenteng Tridharma ini sekitar 200 tahun. Langgam khas Tiongkok muncul pada ujung atap yang mirip burung walet dan melengkung cukup tinggi. Konon dibangun oleh seorang pedagang candu yang hanyut di Kali Silugonggo (Kali Juwana) dan diselamatkan warga sekitar sungai. Sebagai bentuk ucapan syukur, dia membangun tempat ibadat ini.
5. Makam Bupati Juwana
Dinamai makam Jatisari dan merupakan tempat peristirahatan Bupati Juwana pertama Mangkudipuro.
6. Bandeng Presto Desa Dukutalit
Hidangan ini merupakan salah satu unggulan produk olahan khas Juwana, meski banyak dipasarkan di Semarang.
7. Masjid Agung Juwana
Terletak di sekitar alun-alun Juwana, di kawasan Kauman. Telah ada sejak zaman Belanda dan kini dibangun ulang, sayangnya hampir menenggelamkan keaslian unsur arsitektur lainnya.
8. Punden Nyai Banoewati
Nyai Banoewati menjadi legenda batik Bakaran, karena mengajarkan kepada masyaarakat Desa Bakaran Kulon dan Wetan di pelataran punden ini. Tempat ini sekarang menjadi makam. Di lingkungan makam ini terdapat sigit, masjid tanpa mihrab sebagai penyamaran agama yang dianutnya. Dikenal tradisi 'manganan' atau makan bersama di sini, untuk menjalin keguyuban warga.
9. Kantor Polisi Sektor Pati Resor Juwana
Semula kediaman Go Tat Thiong, seorang Letnan Tionghoa di Juwana. Ketika Jepang menduduki Juwana, beralih fungsi menjadi markas polisi rahasia Kempetai Jepang. Setelah Indonesia merdeka, bangunan berlanggam kolonial ini digunakan sebagai kantor polisi hingga sekarang. Meskipun demikian, secara garis besar arsitekturnya tidak mengalami perubahan.
10. Stasiun Lama
Stasiun Lama Juwana didirikan sekitar tahun 1811, dulu disebut Stasiun Joana dan melayani jalur lokomotif diesel berukuran kecil jurusan Rembang-Semarang. Sekarang lebih banyak dimanfaatkan warga untuk tempat parkir dan bermain bulu tangkis. Fungsi lain? Sebagai tempat pengungsian warga yang mengalami musibah banjir Kali Juwana.
Dulunya Sungai Silugonggo adalah Laut
Menurut teori , dulunya Gunung Muria terpisah dengan pulau Jawa. Antara keduanya dipisahkan dengan sebuah selat. Kota Jepara, Kudus dan Pati Utara awalnya ada di daratan pulau Muria itu. Hal itu berlangsung sampai dengan abad ke 16 Masehi. Namun karena pendangkalan lambat laun selat itu akhirnya menyempit dan sampai sekarang hanya selebar sungai Juwana itu. Daerah Juwana sendiri kalau berdasar teori ini berarti awalnya adalah laut yang lambat laun mendangkal menjadi payau atau rawa-rawa.
Teori ini dikuatkan oleh beberapa kenyataan historis. Antara lain adalah sejarah kerajaan Demak Bintoro. Kerajaan Demak adalah kerajaan maritim dan pusat pemerintahannya di daerah Glagah Wangi. Tetapi daerah Glagah Wangi saat ini jaraknya sekitar 30 km dari pantai. Jadi dulunya Glagah Wangi adalah pantai, namun lambat laun karena pendangkalan akhirnya pantainya bergeser ke utara menjauh dari Glagah Wangi.
Jadi saat itu (kalau menurut teori ini), Pelabuhan Juwana awalnya berada di selat. Dan selat ini pada masa lalu merupakan jalur perdagangan yang menghubungkan Demak dan Tuban sebagai Pelabuhan terbesar saat itu. Dan bisa jadi pelabuhan Juwana adalah tempat transit di antara keduanya. Dengan kata lain Pelabuhan Juwana sejak zaman dulu telah ramai dikunjungi kapal-kapal dagang maupun kapal nelayan.
ASAL USUL JEMBATAN SEGELAP JUWANA
Pada tahun 1486, Pati yang merupakan Lereng gunung Muria, masih merupakan hutan belantara. Pada suatu hari, Sunan Muria pulang dari Sarasehan(pertemuan) di padepokan Sunan ngerang. Sesampainya di barat kota Pati, sekitar jam 3 sore atau waktu ashar, kebetulan di tepi hutan tadi terhalang sungai yang sedang banjir. Sunan Muria mau menyeberang, tetapi tak ada perahu.Lalu beliau mengadakan sayembara, barang siapa yang bisa menyeberangkannya kalau laki-laki akan ia jadikan sebagai saudara sinorowedi (saudara sejati) kalau perempuan akan ia jadikan istri. Kebetulan di sebelah baratnya ada seorang wanita yang sedang menggembalakan kerbau bernama Dewi Sapsari putri Ki gedhe sebo Menggolo.
Setelah mendengar sayembara tersebut, dewi Sapsari dengan menunggang kerbau menyeberang ke timur. Lalu ia menyeberangkan Sunan Muria. Sesampai di tepi sungai sebelah barat, Sunan Muria menepati janjinya. Ia lalu ingin bertemu orang tua dari Dewi Sapsari dan akan menyuntingnya sebagai istri. Lalu Sunan Muria menikahi Dewi Sapsari. Sepeninggal beliau pulang ke padepokan Gunung Muria, Dewi Sapsari hamil. Lalu ia melahirkan seorang putra dan diberi nama Raden Bambang Kebo Nyabrang, sesuai pertemuannya dengan suaminya yaitu Sunan Muria.
Setelah dewasa, anak itu menanyakan siapa sebenarnya ayahandanya itu kepada kakeknya. Lalu kakeknya berkata kalau ia masih memiliki keturunan dengan Sunan Muria yang ada di padepokan Gunung Muria. Setelah mendengar hal tersebut, R. Bambang Kebo Nyabrang pergi berangkat ke Gunung Muria. Sesampainya di padepokan, ia bertemu dangan Sunan Muria. Tetapi Sunan Muria tidak mudah percaya dengan anak itu. Lalu Sunan Muria memerintah Raden Bambang Kebo Nyabrang untuk membawa Pintu Gerbang Majapahit ke hadapannya kalau ia mau diakui sebagai anak. Lalu berangkatlah R. bambang Kebo Nyabrang ke Bajang Ratu yang merupakan bekas Kerajaan Majapahit. Yang sekarang tetdapat di Kota Trowulan Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Ia harus segera berangkat karena ia hanya diberi waktu 1x 24 jam.Di lain tempat, yaitu di padepokan Sunan Ngerang, terdapat salah seorang muridnya yang bernama Raden Ronggo yang ingin menyunting putri Sunan Ngerang, yang bernama Roro Pujiwat. Roro Pujiwat mau diperistri apabila Raden Ronggo bersedia memboyong Pintu Gerbang majapahit ke padepokan.
Lalu R. Ronggo pun berangkat ke bekas Kerajaan Majapahit.
Tetapi, ia kecewa karena sesampainya di sana barang tersebut sudah tak ada (sudah diboyong oleh R. Kebo Nyabrang). Lalu Raden Ronggo segera mengejarnya kearah barat. Sesampainya di wilayah kota Pati sekarang, R. Rongo masuk kawasan hutan.
Disana ia melihat pohon Kenanga yang berbentuk mirip kurungan(sangkar). Kemudian ia menamai dukuh tersebut dengan nama Sekar Kurung. Lalu ia melanjutkan misinya untuk mengejar R. Kebo Nyabrang. Dan ia pun menemukan R. Kebo Nyabrang yang sedang istirahat. Pintu itu pun dimintanya. Tetapi tidak diberikan oleh R. Kebo Nyabrang.
Akhirnya timbul peperangan. Dalam peperangan tersebut,penyangga pintu tersebut tercecer sehingga tempat tersebut di beri nama “Njelawang” (Ganjel Lawang). Kemudian mereka menuju ke barat saat itu jam dua belas siang saat semua orang harus beristirahat dan melaksanakan sholat Dhuhur. Maka tempat tersebut diberi nama dukuh “Nduren” (samu barang kudu leren). Mereka bertarung selama 35 hari.
Lalu Sunan Muria turun kearah timur. Ia pun melihat dua orang bertarung dengan jelas. Dalam Bahasa Jawa, jelas diartikan “cetho welo-welo”, sehingga tempat tersebut diberi nama Dukuh Towelo/ Trowelo. Lalu Sunan Muria turun ke tempat kedua orang tersebut bertarung. Lalu beliau berkata “ Wis padha lerena sak kloron padha bandhole”. Lalu berhentilah kedua orang tersebut bertarung. Sehingga tempat tersebut hingga sekarang di namai dukuh “Rendhole” (sak kloron padha bandhole).
Sunan Muria pun lalu mengakui R. Kebo Nyabrang menjadi anaknya. Dan beliau menyuruh anaknya tersebut untuk menjadi penjaga gerbang ini . Setelah Sunan Muria berkata “jaganen !!” (jagalah) maka ia pun langsung meninggal dan hilang nyawanya karena sebagai seorang penjaga harus tidak terlihat. Dan R. Ronggo diberi “katek “ oleh Sunan Muria untuk dibawa ke padepokan.
Tetapi sesampainya di sana Roro Pujiwat tidak menerimanya. Raden Ronggo pun marah dan mengejarnya hingga ke barat. Sesampainya di sungai Juwana Roro Pujiwat berhenti. R. Ronggo yang marah lalu melempar katek tersebut kearah Roro Pujiwat. Roro Pujiwat meninggal. Katek tersebut hilang seperti kilat. Sehingga sampai sekarang dinamai “Segelap”. wallahualam bishshawab....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar