Penelitian sampar hitam |
Sampar hitam, wabah yang disebabkan bakteri Yersinia pestis, menyerang Eropa pada 1347-1351. Dalam rentang hanya empat tahun, jumlah orang yang meninggal 75 juta hingga 200 juta jiwa--nyaris separuh dari populasi Eropa saat itu--akibat wabah itu. Korban meninggal hanya dalam hitungan hari setelah terjangkit. Penderita mengalami demam, kelenjar getah bening membengkak, ruam, dan muntah darah. Nama wabah itu diambil dari munculnya bercak hitam di kulit bagian tubuh yang mati.
Sharon DeWitte, pakar antropologi biologi dari South Carolina University, mengatakan sistem kekebalan orang Eropa lebih kuat setelah wabah itu terjadi. Selama bertahun-tahun sebelum sampar hitam terjadi, hanya 10 persen orang Eropa yang hidup melewati usia 70 tahun. Beratus tahun setelah wabah itu lewat, lebih dari 20 persen populasi Eropa hidup melebihi usia 70 tahun.
"Ini jelas berhubungan dengan adaptasi tubuh," kata DeWitte, seperti ditulis Livescience, Jumat, 9 Mei 2014.
Para peneliti sebelumnya percaya sampar hitam membunuh siapa pun. Namun hasil riset DeWitte menunjukkan wabah itu punya kemiripan dengan gejala penyakit lain: membunuh orang tua dan mereka yang kondisi kesehatannya buruk. Efek wabah itu meninggalkan jejak pada gen imunitas para keturunan korban atau penyintas sampar hitam. Keturunan mereka yang selamat dari wabah itu bisa hidup lebih lama.
Untuk mengetahui perbedaan imunitas manusia akibat sampar hitam, DeWitte memeriksa tulang-belulang manusia di Pusat Bioarkeologi Manusia, Museum London. Sebanyak 464 kerangka berasal dari tiga pemakaman abad ke-11 dan ke-12 sebelum wabah terjadi. Sedangnkan 133 kerangka berasal dari pemakaman pada abad ke-14 dan ke-16. Kerangka itu berasal dari orang-orang dengan beragam usia dan latar belakang sosial-ekonomi.
Laporan DeWitte yang dimuat dalam jurnal Plos One, 7 Mei 2014, menunjukkan umur panjang merupakan efek dari wabah yang merenggut banyak orang tua dan orang rapuh. Dengan nyaris separuh populasi Eropa meninggal akibat wabah, para penyintas punya sumber daya dan makanan lebih banyak untuk bertahan hidup.
"Dokumentasi sejarah menunjukkan adanya perbaikan gizi, terutama pada kaum miskin," kata DeWitte. "Mereka makan lebih banyak daging, ikan, dan roti yang berkualitas."
Sampar hitam merupakan wabah besar pada abad ke-14, tidak seperti HIV atau ebola saat ini. Mencari tahu respons populasi terhadap penyakit bisa menambah pengetahuan tentang interaksi wabah dan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar